Putra dan pengganti Sultan Agung
(-Hanyakrakusuma) sebagai penguasa atas kerajaan Mataram adalah Susuhunan
Amangkurat I (1646-1677 M). Program pokok pemerintahannya adalah usaha
mengkonsolidasikan kerajaan Mataram, mensentralisasikan administrasi dan
keuangan, serta menumpas semua perlawanan. Dia ingin merubah kerajaan yang
telah didasarkan Sultan Agung pada kekuatan militer dan kemampuan untuk
memenangkan atau memaksakan suatu mufakat menjadi suatu kerajaan yang bersatu,
yang sumber-sumber pendapatannya dimonopoli untuk kepentingan raja. Apabila
berhasil maka dia akan merombak politik Jawa, tetapi usaha-usahanya itu sudah
ditakdirkan mengalami kegagalan; fakta-fakta geografi, komunikasi, dan populasi
yang menentukan bahwa kekuasaan administratif di Jawa harus didesentralisasikan
tidak dapat diubah dengan perintah raja. Sebagai akibat dari
kebijakan-kebijakannya, Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan
daerah-daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan
yang terbesar selama abad XVII; hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa
tersebut dan campurtangan VOC.
Amangkurat I memperlihatkan perangainya sudah semenjak awal masa
pemerintahannya. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota,
dia telah terlibat dalam suatu skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem
senior, Tumenggung Wiraguna. Pada tahun 1647 raja baru tersebut mengutus
Wiraguna ke Ujung Timur, seolah-olah untuk mengusir pasukan-pasukan Bali, dan
di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu dia dibunuh.
Sesudah itu, keluarga Wiraguna di Mataram dan orang-orang lain yang terlibat
dalam skandal tahun 1637 tersebut dibunuh. Saudara laki-laki raja, Pangeran
Alit, memihak Wiraguna pada tahun 1637, dan ketika mengetahui
sahabat-sahabatnya sedang dibunuh, dia mencari dukungan di kalangan para
pemimpin Islam. Rupa-rupanya mereka menyerang istana tetapi dapat dipukul
mundur, dan Pangeran Alit gugur dalam pertempuran. Kini Amangkurat I berganti
melawan para pemimpin Islam. Sebuah daftar para pemimpin agama yang terkemuka
disusun dan mereka semuanya dikumpulkan di halaman istana. Kemudian, menurut
duta VOC, Rijklof van Goens, antara 5.000 dan 6.000 orang pria, wanita, dan
anak-anak dibantai.
Pada tahun 1647
Amangkurat I pindah ke istananya yang baru di Plered, tepat di sebelah timur
laut Karta. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu merah daripada dari
kayu seperti istana yang lama, mungkin semacam contoh kepermanenan dan
kekokohan yang ingin dilihat Amangkurat I di seluruh pelosok kerajaannya.
Pekerjaan di Plered tersebut berjalan terus setidak-tidaknya sampai tahun 1666.
Waktu kompleks istana baru itu bertambah besar, susuhunan baru itu semakin
kejam. Teman-teman lama ayahnya menghilang satu demi satu, beberapa di
antaranya mungkin karena usia lanjut, tetapi kebanyakan karena mereka dibunuh
atas perintah raja. Pada tahun 1648 van Goens menyebutkan tentang ‘cara
pemerintahan mereka yang aneh … orang-orang tua dibunuh dalam rangka memberi
tempat kepada yang masih muda! (Gezantschapsreizen,
67). Di antara orang-orang paling terkemuka yang menjadi korban raja ini adalah
ayah mertuanya sendiri Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dibunuh bersama-sama
dengan sebagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Jiwa paman raja pun,
yang merupakan satu-satunya saudara laki-laki Sultan Agung yang masih hidup,
Pangeran Purbaya, terancam tetapi berhasil selamat karena adanya campur tangan
ibu suri.
Kegiatan
Amangkurat I meniadakan kesepakatan orang-orang terkemuka yang sangat penting
artinya bagi kedudukan raja Jawa. Dia membunuh orang-orang yang dicurigai
menentangnya, baik di istana maupun di seluruh pelosok kerajaannya, dan tentu
saja menimbulkan kegelisahan dan ketakutan di antara orang-orang yang masih
hidup. Tampak jelas perpecahan di daerah-daerah di luar perbatasan kerajaan.
Karena menuntut kepatuhan yg sebenarnya tidak dapat dipaksakannya, maka
tindakan Amangkurat I tesebut telah mendorong sekutu-sekutu dan vazal-vazalnya
untuk meninggalkannya. Pada tahun 1650 dia memerintahkan tentara Cirebon
menyerang Banten, dan pada akhir 1657 tentara Mataram sendiri bergerak
menyerang Banten. Kedua serangan tersebut mengalami kegagalan, sehingga tidak
hanya memperkuat perasaan benci Banten terhadap Mataram namun kemungkinan besar
juga menyebabkan Cirebon meragukan manfaat dari sikap tunduknya kepada
Amangkurat I. satu-satunya upayanya untuk menguasai Ujung Timur pada tahun 1647
mengalami kgagalan, sehingga sesudah itu wilayah ini tetap bebas dari pengaruh
Mataram. Pihak Bali menyerang pesisir timur, dan Mataram tidak dapat berbuat
apa-apa. Di luar Jawa hanya Palembanglah yang masih tetap menyatakan setia
dengan harapan yang sangat tipis bahwa Mataram akan bersedia membantunya;
pertama-tama melawan musuh mereka bersama, Banten, dan kemudian dalam perang
melawan VOC (1658-1659). Jambi dengan tegas menolak kekuasaan Mataram sesudah
tahun 1663 dan memilih bekerja sama dengan VOC. Kalimantan juga sama sekali
bebas dari pengaruh Mataram sesudah sekitar tahun 1659. Selama
peperangan-peperangannya dengan VOC, Sultan Hasanuddin dari Gowa mengirim
utusan-utusan ke Mataram pada tahun 1657 dan 1658. Akan tetapi, Amangkurat I
meminta supaya Hasanuddin datang sendiri ke istananya sebagai tanda takluk,
yang jelas tidak akan dilakukan oleh Hasanuddin. Sebagai akibatnya maka sudah
jelas bahwa hubungan Gowa-Mataram menjadi dingin.
Alasan-alasan
yang telah menyebabkan terjadinya perpecahan di daerah pinggiran kerajaan ini
pada dasarnya bersifat kemiliteran. Amangkurat I tidak sanggup menyelenggarakan
ekspedisi-ekspedisi seperti yang telah dijalankan oleh Sultan Agung. Hal ini
adalah akibat langsung dari pemerintahannya yang lalim. Dia tidak berani
meninggalkan istananya yang dikawal ketat dan menempatkan dirinya di
tengah-tengah para komandan yang tidak dapat diandalkan bagi keselamatan
jiwanya. Demikian pula halnya, dia tidak berani mempercayakan pimpinan atas
pasukan utama kepada orang lain. Dengan demikian, kelalimannya telah
menyebabkan hancurnya mufakat orang-orang terkemuka yang telah mengucilkan kerajaan
ini dan tidak memungkinkannya membentuk suatu pasukan yang besar, memimpinnya,
atau mempercayakan pipmpinannya kepada orang lain. Oleh karena itulah, maka
para sekutu dan para taklukannya di daerah-daerah yang terpencil mendapat
kesempatan yang baik untuk melepaskan kesetiaan mereka. Sementara itu,
Amangkurat I memperlihatkan secara jelas sekali bagi orang-orang yang kuat
bahwa kepentingan pribadi mereka dapat terlayani dengan sebaik-baiknya dengan
kemerdekaan.
Hubungan raja
dengan VOC mula-mula tampak bersahabat. Pada tahun 1646 dia menyetujui suatu
perjanjian persahabatan yang mengatur pertukaran tawanan, dan VOC mengembalikan
uang yang telah dirampasnya dari seorang utusan Sultan Agung yang sedang dalam
perjalanan ke Mekah pada tahun 1642. Amangkurat I tampaknya menganggap
perjanjian ini sebagai bukti tunduknya Batavia kepada kekuasaannya, dan VOC
tidak merasa perlu menyatakan penafsiran lain. Serangkaian perutusan VOC
mengunjungi istana antara tahun 1646 dan 1654, dan pos perdagangan VOC di
Jepara dibuka kembali pada tahun 1651. Hubungan dagang VOC dengan daerah
pesisir berkembang lagi.
Dimulainya lagi
perdagangan Jawa-VOC di daerah pesisir telah mengakibatkan timbulnya suatu
krisis internal baru di Jawa. Barang-barang yang dibutuhkan VOC -terutama beras
dan kayu- adalah hasil-hasil daerah pesisir. Barangkali para pengusaha,
pedagang, dan pejabat-pejabat di daerah pesisir utaralah yang memperoleh
sebagian besar keuntungan dengan berlangsungnya lagi perdagangan ini, sedangkan
yang diperoleh raja rupanya kurang daripada yang diinginkannya. Oleh karena
itulah, maka Amangkurat I mulai melakukan pengawasan yang semakin ketat
terhadap daerah pesisir sehingga membangkitkan kembali antagonisme yang
mendalam antara daerah pesisir dan daerah pedalaman.
Pada tahun 1651
Amangkurat I memerintahkan diadakannya suatu sensus, mungkin untuk mempermudah
penarikan pajak. Dia juga mengeluarkan keputusan bahwa tak seorang pun warganya
dapat mengadakan perjalanan ke luar Jawa, sehingga secara langsung memukul
kepentingan para saudagar dari daerah pesisir. Susuhunan juga mengangkat dua
orang gubernur daerah pesisir, yang satu untuk mengawasi bagian barat dan yang
lain untuk bagian timur. Pada tahun 1652 dia melarang sama sekali ekspor beras
dan kayu. Dia memberitahu pihak Belanda bahwa tindakan ini bukan suatu langkah
yang ditujukan terhadap mereka tetapi terhadap Banten, dan bahwa mereka dapat
memperoleh beras dengan jalan mengutus seorang duta kepadanya untuk
merundingkan jumlah dan harganya. Dengan kata lain, dia berusaha menjamin
keuntungan dari perdagangan VOC langsung tersalur ke dalam perbendaharaan raja.
Pihak Belanda mengeluh mengenai pembatasan-pembatasan tersebut, tetapi
Amangkurat I tetap pada pendiriannya. Sementara itu, warganya di daerah pesisir
menderita karena adanya tuntutan raja yang berupa uang tunai dari mereka dan
gangguan raja terhadap perdagangan mereka.
Pada tahun 1655
Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup sama sekali. Dalam
teori, bahkan para nelayan pun tidak diperbolehkan berlayar. Para pejabat
dikirim untuk mengambil alih kapal-kapal yang besar dan memusnahkan semua kapal
yang kecil. Tampaknya tindakan-tindakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah
pengumpulan pajak, tetapi di balik itu semua terlihat jelas adanya keinginan
raja untuk menghancurkan daerah pesisir apabila dia tidak dapat menguasainya.
Pada tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan tersebut tiba-tiba dibuka kembali, tetapi
pada tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi semua pedagang; dan kali ini pos
perdagangan VOC di Jepara juga ditutup. Penutupan pelabuhan yang kedua ini
konon, setidak-tidaknya sebagian, merupakan pembalasan atas tindakan VOC
menghancurkan Palembang pada tahun 1659. VOC merasa tertarik kepada Palembang
yang merupakan sumber lada untuk beberapa waktu lamanya, dan pada tahun 1642
VOC telah berhasil mencapai suatu perjanjian yang memberinya hak monopoli. Akan
tetapi pertentangan-pertentangan terus berlanjut, dan pada tahun 1657
kapal-kapal VOC yang berada di sana diserang. Sebagai akibatnya, VOC menyerang
dan membakar Palembang pada tahun 1659; berdirilah kembali pos VOC di sana.
Amangkurat I tergoncang karena dihancurkannya satu-satunya sekutunya yang
tersisa di luar Jawa ini. Akan tetapi, tampak jelas bahwa alasan untuk
ditutupnya pelabuhan-pelabuhan tersebut lebih luas daripada itu karena semua
saudagar, bukan hanya VOC saja, dilarang berdagang di pelabuhan-pelabuhan. Akan
tetapi, pelabuhan-pelabuhan tersebut dibuka kembali pada tahun 1661.
Usaha-usaha
Amangkurat I untuk menguasai daerah pesisir dan keinginannya untuk memonopoli
perdagangan dengan VOC tentu saja memiliki kaitan yang sangat erat. Dia
tampaknya memiliki empat sasaran pokok: (1) menjamin supaya pajak dari
perdagangan daerah pesisir langsung tersalur ke istana; (2) menegakkan kembali
hubungan ‘vazal’ VOC yang menurut keyakinannya telah ditetapkan di dalam
perjanjian tahun 1646; (3) menerima hadiah-hadiah VOC yang dapat meningkatkan
kemegahan dan keagungan istananya, misalnya kuda Persia, dsb.; dan (4) menerima
uang VOC untuk meringankan kekurangan dana yang kronis di kerajaannya.
Tujuan-tujuan ini dapat tercapai dengan jalan meruntuhkan ekonomi daerah
pesisir dan memaksa agar VOC mengadakan semua pembeliannya secara langsung
dengan istana. Amangkurat I terus mendesak agar VOC mengirimkan duta-dutanya kepadanya
dengan ancaman kalau tidak pelabuhan-pelabuhan akan ditutup kembali.
Perutusan-perutusan VOC dikirim ke Plered pada tahun 1667, 1668, dan 1669,
tetapi hanya sedikit kemajuan dicapai ke arah penyusunan rencana-rencana dagang
yang stabil dan bersahabat, dan perutusan yang terakhir malah tidak
diperbolehkan melanjutkan perjalanannya ke Plered. Seperti yang akan dibahas di
bawah ini, pada masa itu keraton sudah mendekati saat kehancurannya.
Sementara itu,
VOC mendapat kemajuan di Indonesia Timur. Seperti halnya tindakan menghancurkan
Palembang pada tahun 1659 telah menggoncangkan Amangkurat I, maka begitu pula
ditaklukkanya Gowa pun telah menggoncangkan dirinya sepuluh tahun kemudian. Dia
sekarang mulai menyadari bahwa VOC bukan hanya merupakan sumber keuangan tetapi
juga sumber bahaya. Itulah yang semakin membulatkan tekadnya untuk menguasai
daerah pesisir. Kedua orang gubernur daerah pesisir yang diangkat pada tahun
1651 telah digantikan oleh empat orang gubernur pada tahun 1657. Pada tahun
1669 wewenang tersebut dikurangi dan wakil-wakil langsung dari istana yang
disebut umbul dikirim untuk mengawasi
administrasinya. Kehidupan ekonomi dan administrasi daerah pesisir selanjutnya
menjadi kacau, dan mendung mulai menggumpal.
Sulit untuk
mengetahui berapa kuat perlawanan terhadap Amangkurat I sebelum akhir tahun
1660-an. Pasti tersebar luas perlawanan yang laten, mungkin hampir bersifat
universal, tetapi hanya beberapa orang yang mempunyai pengaruh cukup besar
untuk memimpin suatu kudeta atau pemberontakan yang dapat menyelamatkan diri
dari pembunuh-pembunuh yang tak ada henti-hentinya itu. Akan tetapi, pada tahun
1660-an muncul seseorang yang posisi maupun kekuatannya atas pasukan cukup
memadai untuk menjamin dirinya mempunyai harapan untuk selamat dan berhasil.
Orang itu adalah putra raja sendiri, putra mahkota, yang kelak akan bergelar
Susuhunan Amangkurat II (1677-1703).
Putra mahkota
adalah putra Amangkurat I dengan seorang putri Surabaya, putri Pangeran Pekik.
Dia sebenarnya dibesarkan oleh keluarga ibunya, sehingga tidaklah mengherankan
kalau dia mempunyai beban mental yang berat sebagai akibat pembunuhan yang
dilakukan ayahnya terhadap keluarga itu dan Pangeran Pekik pada tahun
1659. Wataknya sewaktu remaja hanya sedikit yang diketahui, kecuali bahwa
dia mempunyai kelemahan terhadap wanita-wanita cantik yang menimbulkan konflik
dengan ayahnya yang mempunyai selera yang sama. Pada tahun 1660 pihak Belanda
mendengar desas-desus bahwa Amangkurat I bermaksud membunuh putranya, dan bahwa
pada tahun 1661 dia telah melakukannya. Segera terbukti bahwa hal itu tidak
benar, tetapi pada tahun 1663 terdengar desas-desus lain mengenai usaha raja
yang gagal untuk meracun putranya. Ada kemungkinan bahwa kelompok putra mahkota
gagal dalam usaha percobaan kudeta pada tahun 1661, yang mengakibatkan
dibunuhnya banyak di antara pendukungnya. Apabila hal itu benar, maka
jelas bahwa putra mahkota sendiri telah berhasil menyelamatkan diri dari
tindakan balas dendam ayahnya, mungkin karena pengawal pribadinya yang sangat
kuat.
Pada tahun
1668-1670 terjadi lagi konflik antara putra mahkota dengan ayahnya mengenai
seorang wanita. Perpecahan antara ayah dan anak sekarang telah menjadi
sempurna, kalau hal itu bukan telah terjadi selama satu dasawarsa. Mulai tahun
1660 putra mahkota sudah berusaha menjalin hubungan tersendiri dengan VOC.
Antara tahun 1667 dan 1675 dia mengirim sembilan perutusan ke Batavia untuk
meminta apa saja, dari ayam Belanda sampai kuda Persia dan gadis-gadis Makasar.
Mungkin tujuannya yang sebenarnya adalah untuk menjajagi apakah dia dapat
mengharapkan dukungan VOC ataukah tidak. Enam orang pangeran lain di istana
masing-masing juga mempunyai pengawal bersenjata dan tempat tinggal yang
dijaga, di antaranya adalah Pangeran Puger yang kelak akan menjadi Susuhunan
Pakubuwana I (1704-1719). Kini Plered telah menjadi suatu kumpulan kamp-kamp
bersenjata. Para pangeran terpecah-belah oleh perasaan iri dan ambisi mereka
dalam suatu lingkungan politik di mana pembunuhan merupakan harga yang harus
dibayar bagi suatu langkah yang keliru.
Putra mahkota
sudah beberapa lama berhubungan dengan seseorang yang kelak akan memainkan
peranan penting dalam kekacauan mendatang. Orang itu adalah Raden Kajoran yang
juga dipanggil dengan nama Panembahan Rama, seorang suci yang dianggap memiliki
kekuatan gaib. Kajoran adalah suatu tempat yang terletak kira-kira dua puluh
enam kilometer di sebelah timur laut istana, di kawasan tempat suci Tembayat.
Pada tahun 1630-an daerah ini agaknya telah menjadi suatu pusat perlawanan
terhadap Sultan Agung, dan pada tahun 1633 Sultan Agung telah mengadakan
semacam ziarah ke makam Sunan Bayat di sana. Raden Kajoran adalah keturunan
keluarga Sunan Bayat dan mempunyai ikatan perkawinan dengan keturunan kerajaan
Mataram. Bahkan yang lebih penting, putrinya yang sulung menikah dengan seorang
pangeran dari Madura yang bernama Raden Trunajaya (1649(?)-1680) yang tidak
senang dengan pemerintahan Amangkurat I. Apabila nanti tidak ada campur-tangan
VOC, maka hampir dapat dipastikan bahwa Trunajaya akan menjadi pendiri suatu
wangsa baru di Jawa. Dia mempunyai cukup banyak alasan untuk membenci
Amangkurat I, karena ayahnya telah dibunuh di istana pada tahun 1656 dan
jiwanya sendiri terancam oleh suatu persekongkolan istana beberapa waktu
kemudian. Jadi dia melarikan diri ke Kajoran dan menjadi menantu Raden Kajoran.
Raden Kajoran
memperkenalkan Trunajaya kepada putra mahkota sekitar tahun 1670, dan hasilnya
adalah suatu persekongkolan yang paling menentukan dalam menentang Amangkurat
I. Trunajaya akan melancarkan suatu pemberontakan, dan apabila raja dapat
dikalahkan maka putra mahkotalah yang akan menjadi susuhunan yang baru.
Trunajaya akan mendapatkan kekuasaan atas Madura dan, agaknya, sebagian Jawa
Timur, dan mungkin pula akan menjadi kepala pejabat administrasi (patih) untuk
seluruh kerajaan. Raden Kajoran meramalkan bahwa Trunajaya akan menjadi seorang
pahlawan besar dan Mataram akan runtuh. Putra mahkota kembali ke istana untuk
menunggu terjadinya peristiwa itu, sedangkan Trunajaya berangkat ke Madura
untuk membangun pangkalan bagi pemberontakan tersebut. Di sana dia menghimpun
kekuatan dan merebut kekuasaan atas Pamekasan di Madura Tengah bagian Selatan.
Dari pangkalan ini dia berhasil merebut kekuasaan atas seluruh Madura selama
tahun 1671.
Ujung tombak
pemberontakan adalah orang-orang non-Jawa. Pertama-tama berhimpun
prajurit-prajurit Madura, kemudian satuan-satuan prajurit yang ganas dari
Indonesia Timur, yaitu orang-orang Makasar. Setelah meninggalkan kampung
halaman mereka setelah kekalahan Gowa pada tahun 1669 dan karena pemerintahan
Arung Palakka bersifat menindas maka gerombolan-gerombolan orang Makasar
berlayar ke Jawa, yang sebagian besar mencari nafkah dengan merompak dan
merampok. Suatu kelompok berangkat ke Banten, tetapi sewaktu situasi di sana
menjadi genting mereka pergi dan pada tahun 1674 sampai di Jepara dengan tujuan
meminta tanah kepada Amangkurat I untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Mereka
tidak diijinkan menghadap ke istana, tetapi tampaknya putra mahkota mengijinkan
mereka menetap di daerah pesisir Jawa Timur di suatu tempat yang bernama Demung
(sekarang Besuki). Semakin banyak orang Makasar bergabung dengan mereka dan
pada tahun 1675 mereka bersekutu dengan Trunajaya dan mulai menyerang
pelabuhan-pelabuhan Jawa. Harapan akan dibaginya barang-barang ranmpasan dari
suatu peperangan yang besar di Jawa tentu benar-benar membangkitkan semangat
orang-orang buangan tersebut.
Kini kerajaan
Mataram mulai mengalami disintegrasi. Raja sudah berusia lanjut dan
sakit-sakitan, tetapi kelaliman dan pembunuhan masih terus berlanjut. Pada
tahun 1674-1676 bahaya kelaparan merajalela dan berjangkit wabah penyakit.
Terlihat adanya berbagai pertanda yang tidak baik: Gunung Merapi meletus pada
tahun 1672, terjadi beberapa gempa bumi dan gerhana bulan, dan hujan turun
tidak pada musimnya. Lagipula, akhir abad Jawa telah dekat. Tradisi istana Jawa
mempercayai suatu siklus abad-abad yang menunjukkan runtuhnya
kerajaan-kerajaan pada akhir setiap abad. Ketika tahun Jawa 1600 (yang
dimulai pada bulan Maret 1677) hampir tiba, tersebar ramalan-ramalan bahwa
hari-hari terakhir Mataram sudah dekat. Dalam sebuah negara serapuh kerajaan
Amangkurat I, maka pemikiran-pemikiran semacam itu hanya akan memperbesar kemungkinan
bahwa pertahanan dianggap sia-sia apabila tantangan terhadap raja akan muncul
pada akhirnya.
Pada tahun 1675
benar-benar berkobar pemberontakan. Orang-orang Makasar menyerang dan membakar
pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur sampai Tuban. Kubu-kubu pertahanan yang dimiliki
pelabuhan-pelabuhan tersebut telah dihancurkan oleh Sultan Agung setelah dia
berhasil merebutnya, dan oleh karena itu kota-kota ini hampir tidak dapat
mempertahankan diri. Angkatan Laut VOC juga berhadapan dengan orang-orang
Makasar, dan hanya memperoleh kemenangan yang kecil. Pasukan Madura di bawah
pimpinan Trunajaya kini memasuki Jawa dan merebut Surabaya. Kesetiaan daerah
pesisir terpecah-belah. Pelabuhan-pelabuhan dari Juwana ke timur tampaknya
mendukung pemberontakan tersebut, sedangkan pelabuhan-pelabuhan yang letaknya
ke barat (terutama Cirebon) tampaknya masih tetap setia kepada Amangkurat I.
Namun demikian timbul kecurigaan tentang sikap semua penguasa daerah
pesisir itu. Istana juga terpecah-belah. Satu pihak mendukung permintaan
bantuan kepada VOC. Pihak lainnya, yang tampaknya dipengaruhi oleh Panembahan
Giri, mengajukan usul atas dasar agama tidak dijalin kerja-sama dengan
orang-orang Kristen. Kedudukan putra mahkota memang sangat sulit. Dia tetap
berada di istana, menguntungkan dirinya, tanpa memperlihatkan keterlibatannya.
Pemberontakan meluas ketika kekuatan-kekuatan Trunajaya dan orang-orang Makasar
memperoleh kemenangan-kemenangan lebih lanjut di daerah pesisir. Pihak
pemberontak menghimbau agar orang-orang Jawa mendukung mereka demi agama Islam
dan telah mendapatkan tanggapan yang positif. Panembahan Giri sekarang merestui
mereka dengan mengatakan bahwa Mataram tidak akan pernah sejahtera selama VOC
masih tetap berada di Jawa. Hal ini menunjukkan semakin besarnya unsur anti-VOC
selain sikap anti-Amangkurat I dalam pemberontakan tersebut, yang menjadi
masalah bagi putra mahkota yang agaknya sudah cenderung kepada VOC.
Titik balik
militer yang sangat menentukan terjadi pada tahun 1676. Peranan putra mahkota
dalam pemberontakan itu telah dicurigai oleh pihak susuhunan, tetapi tidak
jelas apakah Amangkurat I sendiri mempercayai tuduhan-tuduhan tersebut ataukah
mungkin berpendapat bahwa dia tidak berkesempatan melakukan pembalasan dendam
terhadap putranya. Apapun masalahnya, dia menunjuk putra mahkota sebagai
pimpinan pasukan yang dikirim untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan Trunajaya.
Pangeran-pangeran lain juga dikirim bersamanya, termasuk saudara dan sekaligus
musuh utamanya, Pangeran Singasari. Kemungkinan besar raja menginginkan
kematian putra mahkota selama penyerangan tersebut. Mungkin pula putra mahkota
bermaksud melancarkan suatu perang pura-pura terhadap Trunajaya tetapi dicegah
untuk melakukan yang demikian karena ada pangeran-pangeran lainnya. Tentara
kerajaan bertempur melawan Trunajaya di Godogog di daerah pesisir timur laut
pada bulan Oktober 1676, dan mengalami disintegrasi. Di antara korban yang
tewas di pihak Mataram adalah pangeran Purbaya yang sudah berusia sangat
lanjut, satu-satunya saudara Sultan Agung yang cukup lama hidupnya untuk
menyaksikan kehancuran kerajaan Sultan Agung.
Setelah
kejadian di Godogog, pemberontakan itu menyebar semakin cepat. Banyak pembesar
Jawa yang tidak mau lagi mengakui Amangkurat I sebagai raja mereka dan
bergabung dengan kaum pemberontak. Pada awal tahun 1677 pasukan-pasukan
pemberontak menguasai semua pelabuhan. Bahkan Cirebon pun jatuh ke tangan kaum
pemberontak, tetapi kapal-kapal perang Banten segera muncul di sana untuk
memaksakan pengaruh Banten.
Aspirasi Trunajaya sekarang meningkat. Pada tahun 1676 dia telah
memakai gelar panembahan (orang yang dihormati) dan raja. Dia mulai menyatakan
dirinya adalah keturunan Majapahit dan berhak atas tahta Mataram. Dengan kata
lain, putra mahkota Mataram sudah tidak dapat lagi mengendalikan pemberontakan
yang dirancangnya. Akan tetapi, Trunajaya pun sudah tidak dapat lagi
mengendalikan orang-orang Makasar, sekutunya yang sukar untuk diperintah, yang
kepentingannya tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah siapa yang memerintah
Jawa.
Tentu saja
pihak Belanda sangat memperhatikan peristiwa-peristiwa tersebut, dan telah
terlibat dalam permusuhan terhadap orang-orang Makasar. Putra mahkota maupun
Trunajaya meminta meriam, mesiu, dan perlengkapan lainnya kepada VOC. VOC
menghendaki tegaknya stabilitas di daerah pesisir sehingga perdagangan dapat
berjalan dengan baik, dan sekarang VOC harus memutuskan apa yang dapat
dilakukan demi tercapainya stabilitas seperti itu. Pada akhir tahun 1676
Batavia mengambil keputusan akan melakukan campur-tangan terbatas dengan tujuan
untuk mengupayakan semacam penyelesaian. Orang yang diserahi tugas ini adalah
Laksamana Speelman, yang telah berhasil menaklukkan Makasar. Dia diperlengkapi
dengan + 1500 orang serdadu, tetapi
diperintahkan untuk tidak bergerak memasuki wilayah pedalaman. Batavia tidak
ingin terlibat dalam perang besar di Jawa, karena serdadu-serdadunya mungkin
diperlukan di tempat lain: Malaka sedang diganggu oleh orang-orang Melayu dari
Johor dan tampak jelas bahwa Banten dan negara-negara lainnya juga sedang
menggalang persekongkolan untuk melawan VOC. Sangat disangsikan pula manfaatnya
melancarkan suatu peperangan di Jawa, karena beberapa orang merasa yakin bahwa
VOC dapat menaklukkan Jawa hanya dengan menghancurkan pulau tersebut dan
melibatkan VOC dalam pengeluaran yang sangat besar. Bagaimanapun juga, logika
dari tindakan campur-tangan itu segera akan membawa VOC untuk memasuki daerah
pedalaman.
Pada bulan
Februari 1677 Amangkurat I dan VOC memperbarui perjanjian tahun 1646 yang sudah
lama tidak berarti lagi. Pihak Belanda berjanji akan membantu raja melawan
musuh-musuhnya, tetapi raja harus membayar semua biaya yang dikeluarkan untuk
bantuan semacam itu dan memberikan konsesi-konsesi ekonomi kepada VOC, misalnya
pembebasan dari cukai. Terbentuknya persekutuan itu hanya mempercepat
berkobarnya pemberontakan. Kesadaran terhadap Islam tampaknya telah begitu kuat
tertanam di kalangan kaum pemberontak, dan tersebar ramalan-ramalan bahwa Tuhan
tidak akan memberkahi Jawa selama orang-orang yang beragama Kristen masih
berada di sana. Pada bulan Mei 1677 VOC melakukan campur-tangan di daerah
pesisir. Mereka berhasil memukul mundur Trunajaya dari Surabaya sehingga
memaksa pasukannya mundur lebih jauh lagi memasuki daerah pedalaman dan hal ini
justru telah mendorong lebih banyak lagi orang Jawa untuk bergabung dengannya.
Sekarang
pemberontakan sudah mencapai puncaknya. Istana Plered diserang dan jatuh ke
tangan pasukan Trunajaya. Hari keruntuhannya tidak jelas, tetapi sudah pasti
antara akhir bulan Mei dan akhir bulan Juni 1677. Kronik-kronik Jawa
menyebutkan bahwa ketika musuh semakin mendekat, prajurit-prajurit raja
berkerumun di depan istana tetapi raja mengatakan supaya mereka tidak menentang
kehendak Tuhan; hari terakhir abad itu telah tiba dan bersamaan dengan itulah
saat runtuhnya Mataram. Tradisi Jawa juga menyebutkan bahwa hampir seabad
sebelumnya pulung yang jatuh di Sela Gilang telah meramalkan kepada Senapati
bahwa Mataram akan jatuh pada zaman cicit laki-lakinya, yaitu Amangkurat I.
Raja telah meninggalkan istana sebelum musuh-musuhnya sempat mencapainya. Dia
menyerahkan istana kepada putranya, Pangeran Puger, dan membawa serta putra
mahkota bersamanya ke arah barat laut menuju daerah pesisir. Putra mahkota,
yang telah begitu lama tetap selamat di antara musuh-musuhnya dalam keluarga
kerajaan, hanya mempunyai sedikit harapan dapat selamat di tangan bekas
pelindungnya Trunajaya. Puger tidak mampu melawan kaum pemberontak, dan
terpaksa melarikan diri dan meninggalkan istana untuk mereka. Trunajaya merampok
Plered dan sesudah itu bergerak mundur ke arah timur menuju Kediri dengan
membawa serta harta kekayaan Mataram. Kemudian Puger menduduki istana lagi dan
memakai gelar kerajaan Susuhunan Ingalaga, sehingga dimulailah suatu masa
ketegangan yang panjang antara dirinya dengan saudaranya, putra mahkota.
Amangkurat I
tidak kuasa mengatasi penderitaan selama pelariannya. Dia wafat pada bulan Juli
1677; pada tanggal 13 Juli 1677 putranya memakamkannya di TegalWangi (ke
selatan dari Tegal), di pesisir utara. Dulu ketika raja melarikan diri, ia
harus meninggalkan harta kekayaannya dan sebagian tanda-tanda kebesaran
kerajaan yang sempat dibawanya lari sekarang menjadi milik putra mahkota.
Dengan demikian, hanya dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang keramat tersebut
namun tanpa harta kekayaan, suatu pasukan, sebuah istana, atau kerajaan;
Susuhunan Amangkurat II (1677-1703) memulai masa pemerintahannya. Dia hanya
mempunyai satu alat yang memungkinkannya untuk mengangkat dirinya sebagai
penguasa di Jawa; dia harus menghubungi VOC supaya mau bertempur di pihaknya.