Pages

31 Mei 2012

Peristiwa G30S/PKI

Usaha terhadap Pemerintah RI dan mengganti dasar negara Pancasila telah dua kali dijalankan, yang pertama di tahun 1948, dikenal sebagai pemberontakan PKI Muso di Madiun dan yang kedua ialah pemberontakan G 30 S PKI dalam bulan September 1965.
Sebelum melancarkan Gerakan 30 September, PKI mempergunakan berbagai cara seperti mengadu domba antara aparat Pemerintah, ABRI dan ORPOL, serta memfitnah mereka yang dianggap lawan-lawannya serta menyebarkan berbagai isyu yang tidak benar seperti KABIR, setan desa dan lain-lain. Semua tindakan tersebut sesuai dengan prinsip PKI yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya yaitu mengkomuniskan Indonesia dan mengganti Pancasila dengan ideologi mereka. Bahkan menjelang saat-saat meletusnya pemberontakan G 30 S /PKI, maka PKI di tahun 1965 melontarkan isyu bahwa Angkatan Darat akan mengadakan kup terhadap Pemerintah RI dan di dalam TNI AD terdapat "Dewan Jenderal".
Jelaslah isyu-isyu tersebut merupakan kebohongan dan fitnah PKI, yang terbukti bahwa PKI sendiri yang ternyata melakukan kup dan mengadakan pemberontakan terhadap Pemerintah RI yang syah dengan mengadakan pembunuhan terhadap Pejabat Teras TNI AD yang setia kepada Pancasila dan Negara.
.Di samping itu, PKI memantapkan situasi "revolusioner" dikalangan anggota-anggotanya dan massa rakyat. Semua ini dimungkinkan karena PKI mendompleng dan berhasil mempengaruhi presiden Sukarno, dengan berbagai aspek politiknya seperti MANIPOL, USDEK, NASAKOM dan lain-lain.
Semua kegiatan ini pada hakekatnya merupakan persiapan PKI untuk merebut kekuasaan negara dan sesuai dengan cita-cita atau ideologi mereka yang akan membentuk pemerintah komunis sebagai alat untuk mewujudkan masyarakat komunis.
Setelah persiapan untuk melakukan pemberontakan mereka anggap cukup matang antara lain dengan latihan kemiliteran para SUKWAN dan Ormas-ormas PKI di Lubang Buaya, maka ditentukan hari H dan Jam D- nya. Rapat terakhir pimpinan G 30 S /PKI terjadi pada tanggal 30 September 1965, diamana ditentukan antara lain penentuan Markas Komando (CENKO) yang mempunyai 3 unsur :
1. Pasopati, Tugas khusus pimpinan Lettu Dul Arief dari MEN Cakrabirawa.
2. Bimasakti, tugas penguasaan dipimpin oleh Kapten Radi.
3. Gatotkaca sebagai cadangan umum juga penentuan tanda-tanda pengenal, kode-kode dan hal-hal lain yang berhubungan dengan operasi tersebut. Untuk gerakan operasi mereka ini Jakarta dibagi dalam 6 sektor.
Dari Lubang Buaya ini PKI dan pasukan-pasukan yang telah dipersiapkan, melancarkan gerakan pemberontakannya, dengan diawali lebih dahulu menculik dan membunuh secara keji Pemimpin-pemimpin TNI AD yang telah difitnah oleh PKI menduduki beberapa instalasi vital di Ibukota seperti Studio RRI, pusat Telkom dan lain-lain.
Diantara para Pemimpin TNI AD yang dibunuh secara kejam adalah Panglima Angakatan Darat Letjen TNI A Yani, Deputy II MEN/PANGAD MAYJEN TNI Suprato, Deputy III MEN/PANGAD Mayjen TNI Haryono MT, ASS 1 MEN/PANGAD Mayjen TNI Suparman, ASS III MEN/PANGAD Brigjen TNI DI Pandjaitan, IRKEH OJEN AD Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Usaha PKI untuk menculik dan membunuh MEN PANGAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengalami kegagalan, namun Ajudan beliau Lettu Czi Piere Tendean dan putri beliau yang berumur 5 tahun Ade Irma Suryani Nasution telah gugur menjadi korban kebiadaban gerombolan G 30 S/PKI. Dalam peristiwa ini Ade Irma Suryani telah gugur sebagai tameng Ayahandanya. Para pemimpin TNI AD tersebut dan Ajudan Jenderal TNI Nasution berhasil diculik dan dibunuh oleh gerombolan G 30 S/PKI tersebut, kemudian secara kejam dibuang/dikuburkan di dalam satu tempat yakni di sumur tua di Lubang Buaya daerah Pondok Gede.
Demikian pula AIP Satuit Tubun pengawal kediaman WAPERDAM DR. A.J. Leimena gugur pula. Di Jogyakarta, DANREM 072 Kolonel Katamso dan KASREM 072 Letkol I Sugiono gugur pula diculik dan dianiaya oleh gerombolan G 30 S/PKI secara di luar batas-batas perikemanusiaan di desa Kentungan.
Sementara itu, sesudah PKI dengan G 30 S/PKI nya berhasil membunuh para pimpinan TNI AD, kemudian pimpinan G 30 S/PKI mengumumkan sebuah dektrit melalui RRI yang telah berhasil pula dikuasai. Dekrit tersebut diberinya nama kode Dekrit No 1 yang mengutarakan tentang pembentukan apa yang mereka namakan Dewan Revolusi Indonesia di bawah pimpinan Letkol Untung. Berdasarkan revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, dekrit no 1 tersebut, maka Dewan Revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, Dekrit no 2 dari G 30 S/PKI tentang penurunan dan kenaikan pangkat (semua pangkat diatas Letkol diturunkan, sedang prajurit yang mendukung G 30 S/PKI dinaikan pangkatnya 1 atau 2 tingkat).
Setelah adanya tindakan PKI dengan G 30 S/PKI-nya tersebut, maka keadaan di seluruh tanah air menjadi kacau. Rakyat berada dalam keadaan kebingungan, sebab tidak diketahui di mana Pimpinan Negara berada. Demikian pula halnya nasih para Pemimpin TNI AD yang diculikpun tidak diketahui bagaimana nasib dan beradanya pula.
Usaha untuk mencari para pimpinan TNI AD yang telah diculik oleh gerombolan G 30 S/PKI dilakukan oleh segenap Kesatuan TNI/ABRI dan akhirnya dapat diketahui bahwa para pimpinan TNI AD tersebut telah dibunuh secara kejam dan jenazahnya dimasukan ke dalam sumur tua di daerah Pondok Gede, yang dikenal dengan nama Lubang Buaya.
Dari tindakan PKI dengan G 30 S nya, maka secara garis besar dapat diutarakan :
1. Bahwa Gerakan 30 September adalah perbuatan PKI dalam rangka usahanya untuk merebut kekuasaan di negara Republik Indonesia dengan memperalat oknum ABRI sebagai kekuatan fisiknya, untuk itu maka Gerakan 30 September telah dipersiapkan jauh sebelumnya dan tidak pernah terlepas dari tujuan PKI untuk membentuk pemerintah Komunis.
2. Bahwa tujuan tetap komunis di Negara Non Komunis adalah merebut kekuasaan negara dan mengkomuniskannya.
3. Usaha tersebut dilakukan dalam jangka panjang dari generasi ke generasi secara berlanjut.
4. Selanjutnya bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian kegiatan komunisme internasional.

Amangkurat II (Bahasa Inggris)


Amangkurat II became sultan in 1677 when his father Amangkurat I died in Tegal after being expelled from Plered, his capital by Raden Trunajaya, a prince from Madura that captured the court in 1677. Like his father, Amangkurat II was nearly helpless, having fled without an army nor a treasury to build one. In an attempt to regain his kingdom, he made substantial concessions to the Dutch East India Company (VOC), who then went to war to reinstate him. For the Dutch, a stable Mataram empire that was deeply indebted to them would help ensure continued trade on favorable terms. They were willing to lend their military might to keep the kingdom together. The multinational Dutch forces, consisting of light-armed troops from Makasar and Ambon, in addition to heavily-equipped European soldiers, first defeated Trunajaya in Kediri in November 1628, and Trunajaya himself was captured in 1679 near Ngantang west of Malang. Then, in 1681, the alliance of VOC and Amangkurat II forced Pangeran Puger, his younger brother, who styled himself Susuhunan ing Alaga when he seized the throne, to relinquish it. Since the fallen Plered was considered inauspicious, Amangkurat II moved the capital to Kartasura in the land of Pajang (the northern part of the stretch of land between Mount Merapi and Mount Lawu, the southern part being Mataram).
By providing help in regaining his throne, the Dutch brought Amangkurat II under their tight control. Amangkurat II was apparently unhappy with the situation, especially the increasing Dutch control of the coast, but he was helpless in the face of a crippling financial debt and the threat of Dutch military power. The king engaged in a series of intrigues to try to weaken the Dutch position without confronting them head on. For example, he tried to cooperate with other kingdoms such as Cirebon and Johor, and the court sheltered people wanted by the Dutch for attacking colonial offices or disrupting shipping, such as Untung Surapati. In 1685, Batavia sent Captain Tack, the officer who captured Trunojoyo, to capture Surapati and negotiate further details into the agreement between VOC and Amangkurat II, but the king arranged a ruse in which he pretended to help Tack. Tack was killed when pursuing Surapati in Kartasura, but Batavia decided to do nothing since the situation in Batavia itself was far from stable, such as the insurrection of Captain Jonker, native commander of Ambonese settlement in Batavia, in 1689. Mainly due to this incident, by the end of his reign, Amangkurat II was deeply distrusted by the Dutch, but Batavia were similarly uninterested in provoking another costly war on Java.

28 April 2012

Amangkurat I


Putra dan pengganti Sultan Agung (-Hanyakrakusuma) sebagai penguasa atas kerajaan Mataram adalah Susuhunan Amangkurat I (1646-1677 M). Program pokok pemerintahannya adalah usaha mengkonsolidasikan kerajaan Mataram, mensentralisasikan administrasi dan keuangan, serta menumpas semua perlawanan. Dia ingin merubah kerajaan yang telah didasarkan Sultan Agung pada kekuatan militer dan kemampuan untuk memenangkan atau memaksakan suatu mufakat menjadi suatu kerajaan yang bersatu, yang sumber-sumber pendapatannya dimonopoli untuk kepentingan raja. Apabila berhasil maka dia akan merombak politik Jawa, tetapi usaha-usahanya itu sudah ditakdirkan mengalami kegagalan; fakta-fakta geografi, komunikasi, dan populasi yang menentukan bahwa kekuasaan administratif di Jawa harus didesentralisasikan tidak dapat diubah dengan perintah raja. Sebagai akibat dari kebijakan-kebijakannya, Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang terbesar selama abad XVII; hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan campurtangan VOC.
Amangkurat I memperlihatkan perangainya sudah semenjak awal masa pemerintahannya. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, dia telah terlibat dalam suatu skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Pada tahun 1647 raja baru tersebut mengutus Wiraguna ke Ujung Timur, seolah-olah untuk mengusir pasukan-pasukan Bali, dan di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu dia dibunuh. Sesudah itu, keluarga Wiraguna di Mataram dan orang-orang lain yang terlibat dalam skandal tahun 1637 tersebut dibunuh. Saudara laki-laki raja, Pangeran Alit, memihak Wiraguna pada tahun 1637, dan ketika mengetahui sahabat-sahabatnya sedang dibunuh, dia mencari dukungan di kalangan para pemimpin Islam. Rupa-rupanya mereka menyerang istana tetapi dapat dipukul mundur, dan Pangeran Alit gugur dalam pertempuran. Kini Amangkurat I berganti melawan para pemimpin Islam. Sebuah daftar para pemimpin agama yang terkemuka disusun dan mereka semuanya dikumpulkan di halaman istana. Kemudian, menurut duta VOC, Rijklof van Goens, antara 5.000 dan 6.000 orang pria, wanita, dan anak-anak dibantai.
Pada tahun 1647 Amangkurat I pindah ke istananya yang baru di Plered, tepat di sebelah timur laut Karta. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu merah daripada dari kayu seperti istana yang lama, mungkin semacam contoh kepermanenan dan kekokohan yang ingin dilihat Amangkurat I di seluruh pelosok kerajaannya. Pekerjaan di Plered tersebut berjalan terus setidak-tidaknya sampai tahun 1666. Waktu kompleks istana baru itu bertambah besar, susuhunan baru itu semakin kejam. Teman-teman lama ayahnya menghilang satu demi satu, beberapa di antaranya mungkin karena usia lanjut, tetapi kebanyakan karena mereka dibunuh atas perintah raja. Pada tahun 1648 van Goens menyebutkan tentang ‘cara pemerintahan mereka yang aneh … orang-orang tua dibunuh dalam rangka memberi tempat kepada yang masih muda! (Gezantschapsreizen, 67). Di antara orang-orang paling terkemuka yang menjadi korban raja ini adalah ayah mertuanya sendiri Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dibunuh bersama-sama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Jiwa paman raja pun, yang merupakan satu-satunya saudara laki-laki Sultan Agung yang masih hidup, Pangeran Purbaya, terancam tetapi berhasil selamat karena adanya campur tangan ibu suri.
Kegiatan Amangkurat I meniadakan kesepakatan orang-orang terkemuka yang sangat penting artinya bagi kedudukan raja Jawa. Dia membunuh orang-orang yang dicurigai menentangnya, baik di istana maupun di seluruh pelosok kerajaannya, dan tentu saja menimbulkan kegelisahan dan ketakutan di antara orang-orang yang masih hidup. Tampak jelas perpecahan di daerah-daerah di luar perbatasan kerajaan. Karena menuntut kepatuhan yg sebenarnya tidak dapat dipaksakannya, maka tindakan Amangkurat I tesebut telah mendorong sekutu-sekutu dan vazal-vazalnya untuk meninggalkannya. Pada tahun 1650 dia memerintahkan tentara Cirebon menyerang Banten, dan pada akhir 1657 tentara Mataram sendiri bergerak menyerang Banten. Kedua serangan tersebut mengalami kegagalan, sehingga tidak hanya memperkuat perasaan benci Banten terhadap Mataram namun kemungkinan besar juga menyebabkan Cirebon meragukan manfaat dari sikap tunduknya kepada Amangkurat I. satu-satunya upayanya untuk menguasai Ujung Timur pada tahun 1647 mengalami kgagalan, sehingga sesudah itu wilayah ini tetap bebas dari pengaruh Mataram. Pihak Bali menyerang pesisir timur, dan Mataram tidak dapat berbuat apa-apa. Di luar Jawa hanya Palembanglah yang masih tetap menyatakan setia dengan harapan yang sangat tipis bahwa Mataram akan bersedia membantunya; pertama-tama melawan musuh mereka bersama, Banten, dan kemudian dalam perang melawan VOC (1658-1659). Jambi dengan tegas menolak kekuasaan Mataram sesudah tahun 1663 dan memilih bekerja sama dengan VOC. Kalimantan juga sama sekali bebas dari pengaruh Mataram sesudah sekitar tahun 1659. Selama peperangan-peperangannya dengan VOC, Sultan Hasanuddin dari Gowa mengirim utusan-utusan ke Mataram pada tahun 1657 dan 1658. Akan tetapi, Amangkurat I meminta supaya Hasanuddin datang sendiri ke istananya sebagai tanda takluk, yang jelas tidak akan dilakukan oleh Hasanuddin. Sebagai akibatnya maka sudah jelas bahwa hubungan Gowa-Mataram menjadi dingin.
Alasan-alasan yang telah menyebabkan terjadinya perpecahan di daerah pinggiran kerajaan ini pada dasarnya bersifat kemiliteran. Amangkurat I tidak sanggup menyelenggarakan ekspedisi-ekspedisi seperti yang telah dijalankan oleh Sultan Agung. Hal ini adalah akibat langsung dari pemerintahannya yang lalim. Dia tidak berani meninggalkan istananya yang dikawal ketat dan menempatkan dirinya di tengah-tengah para komandan yang tidak dapat diandalkan bagi keselamatan jiwanya. Demikian pula halnya, dia tidak berani mempercayakan pimpinan atas pasukan utama kepada orang lain. Dengan demikian, kelalimannya telah menyebabkan hancurnya mufakat orang-orang terkemuka yang telah mengucilkan kerajaan ini dan tidak memungkinkannya membentuk suatu pasukan yang besar, memimpinnya, atau mempercayakan pipmpinannya kepada orang lain. Oleh karena itulah, maka para sekutu dan para taklukannya di daerah-daerah yang terpencil mendapat kesempatan yang baik untuk melepaskan kesetiaan mereka. Sementara itu, Amangkurat I memperlihatkan secara jelas sekali bagi orang-orang yang kuat bahwa kepentingan pribadi mereka dapat terlayani dengan sebaik-baiknya dengan kemerdekaan.
Hubungan raja dengan VOC mula-mula tampak bersahabat. Pada tahun 1646 dia menyetujui suatu perjanjian persahabatan yang mengatur pertukaran tawanan, dan VOC mengembalikan uang yang telah dirampasnya dari seorang utusan Sultan Agung yang sedang dalam perjalanan ke Mekah pada tahun 1642. Amangkurat I tampaknya menganggap perjanjian ini sebagai bukti tunduknya Batavia kepada kekuasaannya, dan VOC tidak merasa perlu menyatakan penafsiran lain. Serangkaian perutusan VOC mengunjungi istana antara tahun 1646 dan 1654, dan pos perdagangan VOC di Jepara dibuka kembali pada tahun 1651. Hubungan dagang VOC dengan daerah pesisir berkembang lagi.
Dimulainya lagi perdagangan Jawa-VOC di daerah pesisir telah mengakibatkan timbulnya suatu krisis internal baru di Jawa. Barang-barang yang dibutuhkan VOC -terutama beras dan kayu- adalah hasil-hasil daerah pesisir. Barangkali para pengusaha, pedagang, dan pejabat-pejabat di daerah pesisir utaralah yang memperoleh sebagian besar keuntungan dengan berlangsungnya lagi perdagangan ini, sedangkan yang diperoleh raja rupanya kurang daripada yang diinginkannya. Oleh karena itulah, maka Amangkurat I mulai melakukan pengawasan yang semakin ketat terhadap daerah pesisir sehingga membangkitkan kembali antagonisme yang mendalam antara daerah pesisir dan daerah pedalaman.
Pada tahun 1651 Amangkurat I memerintahkan diadakannya suatu sensus, mungkin untuk mempermudah penarikan pajak. Dia juga mengeluarkan keputusan bahwa tak seorang pun warganya dapat mengadakan perjalanan ke luar Jawa, sehingga secara langsung memukul kepentingan para saudagar dari daerah pesisir. Susuhunan juga mengangkat dua orang gubernur daerah pesisir, yang satu untuk mengawasi bagian barat dan yang lain untuk bagian timur. Pada tahun 1652 dia melarang sama sekali ekspor beras dan kayu. Dia memberitahu pihak Belanda bahwa tindakan ini bukan suatu langkah yang ditujukan terhadap mereka tetapi terhadap Banten, dan bahwa mereka dapat memperoleh beras dengan jalan mengutus seorang duta kepadanya untuk merundingkan jumlah dan harganya. Dengan kata lain, dia berusaha menjamin keuntungan dari perdagangan VOC langsung tersalur ke dalam perbendaharaan raja. Pihak Belanda mengeluh mengenai pembatasan-pembatasan tersebut, tetapi Amangkurat I tetap pada pendiriannya. Sementara itu, warganya di daerah pesisir menderita karena adanya tuntutan raja yang berupa uang tunai dari mereka dan gangguan raja terhadap perdagangan mereka.
Pada tahun 1655 Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup sama sekali. Dalam teori, bahkan para nelayan pun tidak diperbolehkan berlayar. Para pejabat dikirim untuk mengambil alih kapal-kapal yang besar dan memusnahkan semua kapal yang kecil. Tampaknya tindakan-tindakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan pajak, tetapi di balik itu semua terlihat jelas adanya keinginan raja untuk menghancurkan daerah pesisir apabila dia tidak dapat menguasainya. Pada tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan tersebut tiba-tiba dibuka kembali, tetapi pada tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi semua pedagang; dan kali ini pos perdagangan VOC di Jepara juga ditutup. Penutupan pelabuhan yang kedua ini konon, setidak-tidaknya sebagian, merupakan pembalasan atas tindakan VOC menghancurkan Palembang pada tahun 1659. VOC merasa tertarik kepada Palembang yang merupakan sumber lada untuk beberapa waktu lamanya, dan pada tahun 1642 VOC telah berhasil mencapai suatu perjanjian yang memberinya hak monopoli. Akan tetapi pertentangan-pertentangan terus berlanjut, dan pada tahun 1657 kapal-kapal VOC yang berada di sana diserang. Sebagai akibatnya, VOC menyerang dan membakar Palembang pada tahun 1659; berdirilah kembali pos VOC di sana. Amangkurat I tergoncang karena dihancurkannya satu-satunya sekutunya yang tersisa di luar Jawa ini. Akan tetapi, tampak jelas bahwa alasan untuk ditutupnya pelabuhan-pelabuhan tersebut lebih luas daripada itu karena semua saudagar, bukan hanya VOC saja, dilarang berdagang di pelabuhan-pelabuhan. Akan tetapi, pelabuhan-pelabuhan tersebut dibuka kembali pada tahun 1661.
Usaha-usaha Amangkurat I untuk menguasai daerah pesisir dan keinginannya untuk memonopoli perdagangan dengan VOC tentu saja memiliki kaitan yang sangat erat. Dia tampaknya memiliki empat sasaran pokok: (1) menjamin supaya pajak dari perdagangan daerah pesisir langsung tersalur ke istana; (2) menegakkan kembali hubungan ‘vazal’ VOC yang menurut keyakinannya telah ditetapkan di dalam perjanjian tahun 1646; (3) menerima hadiah-hadiah VOC yang dapat meningkatkan kemegahan dan keagungan istananya, misalnya kuda Persia, dsb.; dan (4) menerima uang VOC untuk meringankan kekurangan dana yang kronis di kerajaannya. Tujuan-tujuan ini dapat tercapai dengan jalan meruntuhkan ekonomi daerah pesisir dan memaksa agar VOC mengadakan semua pembeliannya secara langsung dengan istana. Amangkurat I terus mendesak agar VOC mengirimkan duta-dutanya kepadanya dengan ancaman kalau tidak pelabuhan-pelabuhan akan ditutup kembali. Perutusan-perutusan VOC dikirim ke Plered pada tahun 1667, 1668, dan 1669, tetapi hanya sedikit kemajuan dicapai ke arah penyusunan rencana-rencana dagang yang stabil dan bersahabat, dan perutusan yang terakhir malah tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanannya ke Plered. Seperti yang akan dibahas di bawah ini, pada masa itu keraton sudah mendekati saat kehancurannya.
Sementara itu, VOC mendapat kemajuan di Indonesia Timur. Seperti halnya tindakan menghancurkan Palembang pada tahun 1659 telah menggoncangkan Amangkurat I, maka begitu pula ditaklukkanya Gowa pun telah menggoncangkan dirinya sepuluh tahun kemudian. Dia sekarang mulai menyadari bahwa VOC bukan hanya merupakan sumber keuangan tetapi juga sumber bahaya. Itulah yang semakin membulatkan tekadnya untuk menguasai daerah pesisir. Kedua orang gubernur daerah pesisir yang diangkat pada tahun 1651 telah digantikan oleh empat orang gubernur pada tahun 1657. Pada tahun 1669 wewenang tersebut dikurangi dan wakil-wakil langsung dari istana yang disebut umbul dikirim untuk mengawasi administrasinya. Kehidupan ekonomi dan administrasi daerah pesisir selanjutnya menjadi kacau, dan mendung mulai menggumpal.
Sulit untuk mengetahui berapa kuat perlawanan terhadap Amangkurat I sebelum akhir tahun 1660-an. Pasti tersebar luas perlawanan yang laten, mungkin hampir bersifat universal, tetapi hanya beberapa orang yang mempunyai pengaruh cukup besar untuk memimpin suatu kudeta atau pemberontakan yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuh-pembunuh yang tak ada henti-hentinya itu. Akan tetapi, pada tahun 1660-an muncul seseorang yang posisi maupun kekuatannya atas pasukan cukup memadai untuk menjamin dirinya mempunyai harapan untuk selamat dan berhasil. Orang itu adalah putra raja sendiri, putra mahkota, yang kelak akan bergelar Susuhunan Amangkurat II (1677-1703).
Putra mahkota adalah putra Amangkurat I dengan seorang putri Surabaya, putri Pangeran Pekik. Dia sebenarnya dibesarkan oleh keluarga ibunya, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia mempunyai beban mental yang berat sebagai akibat pembunuhan yang dilakukan  ayahnya terhadap keluarga itu dan Pangeran Pekik pada tahun 1659.  Wataknya sewaktu remaja hanya sedikit yang diketahui, kecuali bahwa dia mempunyai kelemahan terhadap wanita-wanita cantik yang menimbulkan konflik dengan ayahnya yang mempunyai selera yang sama. Pada tahun 1660 pihak Belanda mendengar desas-desus bahwa Amangkurat I bermaksud membunuh putranya, dan bahwa pada tahun 1661 dia telah melakukannya. Segera terbukti bahwa hal itu tidak benar, tetapi pada tahun 1663 terdengar desas-desus lain mengenai usaha raja yang gagal untuk meracun putranya. Ada kemungkinan bahwa kelompok putra mahkota gagal dalam usaha percobaan kudeta pada tahun 1661, yang mengakibatkan dibunuhnya banyak di antara pendukungnya. Apabila hal itu benar, maka jelas  bahwa putra mahkota sendiri telah berhasil menyelamatkan diri dari tindakan balas dendam ayahnya, mungkin karena pengawal pribadinya yang sangat kuat.
Pada tahun 1668-1670 terjadi lagi konflik antara putra mahkota dengan ayahnya mengenai seorang wanita. Perpecahan antara ayah dan anak sekarang telah menjadi sempurna, kalau hal itu bukan telah terjadi selama satu dasawarsa. Mulai tahun 1660 putra mahkota sudah berusaha menjalin hubungan tersendiri dengan VOC. Antara tahun 1667 dan 1675 dia mengirim sembilan perutusan ke Batavia untuk meminta apa saja, dari ayam Belanda sampai kuda Persia dan gadis-gadis Makasar. Mungkin tujuannya yang sebenarnya adalah untuk menjajagi apakah dia dapat mengharapkan dukungan VOC ataukah tidak. Enam orang pangeran lain di istana masing-masing juga mempunyai pengawal bersenjata dan tempat tinggal yang dijaga, di antaranya adalah Pangeran Puger yang kelak akan menjadi Susuhunan Pakubuwana I (1704-1719). Kini Plered telah menjadi suatu kumpulan kamp-kamp bersenjata. Para pangeran terpecah-belah oleh perasaan iri dan ambisi mereka dalam suatu lingkungan politik di mana pembunuhan merupakan harga yang harus dibayar bagi suatu langkah yang keliru.
Putra mahkota sudah beberapa lama berhubungan dengan seseorang yang kelak akan memainkan peranan penting dalam kekacauan mendatang. Orang itu adalah Raden Kajoran yang juga dipanggil dengan nama Panembahan Rama, seorang suci yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Kajoran adalah suatu tempat yang terletak kira-kira dua puluh enam kilometer di sebelah timur laut istana, di kawasan tempat suci Tembayat. Pada tahun 1630-an daerah ini agaknya telah menjadi suatu pusat perlawanan terhadap Sultan Agung, dan pada tahun 1633 Sultan Agung telah mengadakan semacam ziarah ke makam Sunan Bayat di sana. Raden Kajoran adalah keturunan keluarga Sunan Bayat dan mempunyai ikatan perkawinan dengan keturunan kerajaan Mataram. Bahkan yang lebih penting, putrinya yang sulung menikah dengan seorang pangeran dari Madura yang bernama Raden Trunajaya (1649(?)-1680) yang tidak senang dengan pemerintahan Amangkurat I. Apabila nanti tidak ada campur-tangan VOC, maka hampir dapat dipastikan bahwa Trunajaya akan menjadi pendiri suatu wangsa baru di Jawa. Dia mempunyai cukup banyak alasan untuk membenci Amangkurat I, karena ayahnya telah dibunuh di istana pada tahun 1656 dan jiwanya sendiri terancam oleh suatu persekongkolan istana beberapa waktu kemudian. Jadi dia melarikan diri ke Kajoran dan menjadi menantu Raden Kajoran.
Raden Kajoran memperkenalkan Trunajaya kepada putra mahkota sekitar tahun 1670, dan hasilnya adalah suatu persekongkolan yang paling menentukan dalam menentang Amangkurat I. Trunajaya akan melancarkan suatu pemberontakan, dan apabila raja dapat dikalahkan maka putra mahkotalah yang akan menjadi susuhunan yang baru. Trunajaya akan mendapatkan kekuasaan atas Madura dan, agaknya, sebagian Jawa Timur, dan mungkin pula akan menjadi kepala pejabat administrasi (patih) untuk seluruh kerajaan. Raden Kajoran meramalkan bahwa Trunajaya akan menjadi seorang pahlawan besar dan Mataram akan runtuh. Putra mahkota kembali ke istana untuk menunggu terjadinya peristiwa itu, sedangkan Trunajaya berangkat ke Madura untuk membangun pangkalan bagi pemberontakan tersebut. Di sana dia menghimpun kekuatan dan merebut kekuasaan atas Pamekasan di Madura Tengah bagian Selatan. Dari pangkalan ini dia berhasil merebut kekuasaan atas seluruh Madura selama tahun 1671.
Ujung tombak pemberontakan adalah orang-orang non-Jawa. Pertama-tama berhimpun prajurit-prajurit Madura, kemudian satuan-satuan prajurit yang ganas dari Indonesia Timur, yaitu orang-orang Makasar. Setelah meninggalkan kampung halaman mereka setelah kekalahan Gowa pada tahun 1669 dan karena pemerintahan Arung Palakka bersifat menindas maka gerombolan-gerombolan orang Makasar berlayar ke Jawa, yang sebagian besar mencari nafkah dengan merompak dan merampok. Suatu kelompok berangkat ke Banten, tetapi sewaktu situasi di sana menjadi genting mereka pergi dan pada tahun 1674 sampai di Jepara dengan tujuan meminta tanah kepada Amangkurat I untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Mereka tidak diijinkan menghadap ke istana, tetapi tampaknya putra mahkota mengijinkan mereka menetap di daerah pesisir Jawa Timur di suatu tempat yang bernama Demung (sekarang Besuki). Semakin banyak orang Makasar bergabung dengan mereka dan pada tahun 1675 mereka bersekutu dengan Trunajaya dan mulai menyerang pelabuhan-pelabuhan Jawa. Harapan akan dibaginya barang-barang ranmpasan dari suatu peperangan yang besar di Jawa tentu benar-benar membangkitkan semangat orang-orang buangan tersebut.
Kini kerajaan Mataram mulai mengalami disintegrasi. Raja sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan, tetapi kelaliman dan pembunuhan masih terus berlanjut. Pada tahun 1674-1676 bahaya kelaparan merajalela dan berjangkit wabah penyakit. Terlihat adanya berbagai pertanda yang tidak baik: Gunung Merapi meletus pada tahun 1672, terjadi beberapa gempa bumi dan gerhana bulan, dan hujan turun tidak pada musimnya. Lagipula, akhir abad Jawa telah dekat. Tradisi istana Jawa mempercayai suatu siklus abad-abad yang menunjukkan runtuhnya kerajaan-kerajaan  pada akhir setiap abad. Ketika tahun Jawa 1600 (yang dimulai pada bulan Maret 1677) hampir tiba, tersebar ramalan-ramalan bahwa hari-hari terakhir Mataram sudah dekat. Dalam sebuah negara serapuh kerajaan Amangkurat I, maka pemikiran-pemikiran semacam itu hanya akan memperbesar kemungkinan bahwa pertahanan dianggap sia-sia apabila tantangan terhadap raja akan muncul pada akhirnya.
Pada tahun 1675 benar-benar berkobar pemberontakan. Orang-orang Makasar menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur sampai Tuban. Kubu-kubu pertahanan yang dimiliki pelabuhan-pelabuhan tersebut telah dihancurkan oleh Sultan Agung setelah dia berhasil merebutnya, dan oleh karena itu kota-kota ini hampir tidak dapat mempertahankan diri. Angkatan Laut VOC juga berhadapan dengan orang-orang Makasar, dan hanya memperoleh kemenangan yang kecil. Pasukan Madura di bawah pimpinan Trunajaya kini memasuki Jawa dan merebut Surabaya. Kesetiaan daerah pesisir terpecah-belah. Pelabuhan-pelabuhan dari Juwana ke timur tampaknya mendukung pemberontakan tersebut, sedangkan pelabuhan-pelabuhan yang letaknya ke barat (terutama Cirebon) tampaknya masih tetap setia kepada Amangkurat I. Namun demikian timbul kecurigaan  tentang sikap semua penguasa daerah pesisir itu. Istana juga terpecah-belah. Satu pihak mendukung permintaan bantuan kepada VOC. Pihak lainnya, yang tampaknya dipengaruhi oleh Panembahan Giri, mengajukan usul atas dasar agama tidak dijalin kerja-sama dengan orang-orang Kristen. Kedudukan putra mahkota memang sangat sulit. Dia tetap berada di istana, menguntungkan dirinya, tanpa memperlihatkan keterlibatannya. Pemberontakan meluas ketika kekuatan-kekuatan Trunajaya dan orang-orang Makasar memperoleh kemenangan-kemenangan lebih lanjut di daerah pesisir. Pihak pemberontak menghimbau agar orang-orang Jawa mendukung mereka demi agama Islam dan telah mendapatkan tanggapan yang positif. Panembahan Giri sekarang merestui mereka dengan mengatakan bahwa Mataram tidak akan pernah sejahtera selama VOC masih tetap berada di Jawa. Hal ini menunjukkan semakin besarnya unsur anti-VOC selain sikap anti-Amangkurat I dalam pemberontakan tersebut, yang menjadi masalah bagi putra mahkota yang agaknya sudah cenderung kepada VOC.
Titik balik militer yang sangat menentukan terjadi pada tahun 1676. Peranan putra mahkota dalam pemberontakan itu telah dicurigai oleh pihak susuhunan, tetapi tidak jelas apakah Amangkurat I sendiri mempercayai tuduhan-tuduhan tersebut ataukah mungkin berpendapat bahwa dia tidak berkesempatan melakukan pembalasan dendam terhadap putranya. Apapun masalahnya, dia menunjuk putra mahkota sebagai pimpinan pasukan yang dikirim untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan Trunajaya. Pangeran-pangeran lain juga dikirim bersamanya, termasuk saudara dan sekaligus musuh utamanya, Pangeran Singasari. Kemungkinan besar raja menginginkan kematian putra mahkota selama penyerangan tersebut. Mungkin pula putra mahkota bermaksud melancarkan suatu perang pura-pura terhadap Trunajaya tetapi dicegah untuk melakukan yang demikian karena ada pangeran-pangeran lainnya. Tentara kerajaan bertempur melawan Trunajaya di Godogog di daerah pesisir timur laut pada bulan Oktober 1676, dan mengalami disintegrasi. Di antara korban yang tewas di pihak Mataram adalah pangeran Purbaya yang sudah berusia sangat lanjut, satu-satunya saudara Sultan Agung yang cukup lama hidupnya untuk menyaksikan kehancuran kerajaan Sultan Agung.
Setelah kejadian di Godogog, pemberontakan itu menyebar semakin cepat. Banyak pembesar Jawa yang tidak mau lagi mengakui Amangkurat I sebagai raja mereka dan bergabung dengan kaum pemberontak. Pada awal tahun 1677 pasukan-pasukan pemberontak menguasai semua pelabuhan. Bahkan Cirebon pun jatuh ke tangan kaum pemberontak, tetapi kapal-kapal perang Banten segera muncul di sana untuk memaksakan pengaruh Banten.
Aspirasi Trunajaya sekarang meningkat. Pada tahun 1676 dia telah memakai gelar panembahan (orang yang dihormati) dan raja. Dia mulai menyatakan dirinya adalah keturunan Majapahit dan berhak atas tahta Mataram. Dengan kata lain, putra mahkota Mataram sudah tidak dapat lagi mengendalikan pemberontakan yang dirancangnya. Akan tetapi, Trunajaya pun sudah tidak dapat lagi mengendalikan orang-orang Makasar, sekutunya yang sukar untuk diperintah, yang kepentingannya tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah siapa yang memerintah Jawa.
Tentu saja pihak Belanda sangat memperhatikan peristiwa-peristiwa tersebut, dan telah terlibat dalam permusuhan terhadap orang-orang Makasar. Putra mahkota maupun Trunajaya meminta meriam, mesiu, dan perlengkapan lainnya kepada VOC. VOC menghendaki tegaknya stabilitas di daerah pesisir sehingga perdagangan dapat berjalan dengan baik, dan sekarang VOC harus memutuskan apa yang dapat dilakukan demi tercapainya stabilitas seperti itu. Pada akhir tahun 1676 Batavia mengambil keputusan akan melakukan campur-tangan terbatas dengan tujuan untuk mengupayakan semacam penyelesaian. Orang yang diserahi tugas ini adalah Laksamana Speelman, yang telah berhasil menaklukkan Makasar. Dia diperlengkapi dengan + 1500 orang serdadu, tetapi diperintahkan untuk tidak bergerak memasuki wilayah pedalaman. Batavia tidak ingin terlibat dalam perang besar di Jawa, karena serdadu-serdadunya mungkin diperlukan di tempat lain: Malaka sedang diganggu oleh orang-orang Melayu dari Johor dan tampak jelas bahwa Banten dan negara-negara lainnya juga sedang menggalang persekongkolan untuk melawan VOC. Sangat disangsikan pula manfaatnya melancarkan suatu peperangan di Jawa, karena beberapa orang merasa yakin bahwa VOC dapat menaklukkan Jawa hanya dengan menghancurkan pulau tersebut dan melibatkan VOC dalam pengeluaran yang sangat besar. Bagaimanapun juga, logika dari tindakan campur-tangan itu segera akan membawa VOC untuk memasuki daerah pedalaman.
Pada bulan Februari 1677 Amangkurat I dan VOC memperbarui perjanjian tahun 1646 yang sudah lama tidak berarti lagi. Pihak Belanda berjanji akan membantu raja melawan musuh-musuhnya, tetapi raja harus membayar semua biaya yang dikeluarkan untuk bantuan semacam itu dan memberikan konsesi-konsesi ekonomi kepada VOC, misalnya pembebasan dari cukai. Terbentuknya persekutuan itu hanya mempercepat berkobarnya pemberontakan. Kesadaran terhadap Islam tampaknya telah begitu kuat tertanam di kalangan kaum pemberontak, dan tersebar ramalan-ramalan bahwa Tuhan tidak akan memberkahi Jawa selama orang-orang yang beragama Kristen masih berada di sana. Pada bulan Mei 1677 VOC melakukan campur-tangan di daerah pesisir. Mereka berhasil memukul mundur Trunajaya dari Surabaya sehingga memaksa pasukannya mundur lebih jauh lagi memasuki daerah pedalaman dan hal ini justru telah mendorong lebih banyak lagi orang Jawa untuk bergabung dengannya.
Sekarang pemberontakan sudah mencapai puncaknya. Istana Plered diserang dan jatuh ke tangan pasukan Trunajaya. Hari keruntuhannya tidak jelas, tetapi sudah pasti antara akhir bulan Mei dan akhir bulan Juni 1677. Kronik-kronik Jawa menyebutkan bahwa ketika musuh semakin mendekat, prajurit-prajurit raja berkerumun di depan istana tetapi raja mengatakan supaya mereka tidak menentang kehendak Tuhan; hari terakhir abad itu telah tiba dan bersamaan dengan itulah saat runtuhnya Mataram. Tradisi Jawa juga menyebutkan bahwa hampir seabad sebelumnya pulung yang jatuh di Sela Gilang telah meramalkan kepada Senapati bahwa Mataram akan jatuh pada zaman cicit laki-lakinya, yaitu Amangkurat I. Raja telah meninggalkan istana sebelum musuh-musuhnya sempat mencapainya. Dia menyerahkan istana kepada putranya, Pangeran Puger, dan membawa serta putra mahkota bersamanya ke arah barat laut menuju daerah pesisir. Putra mahkota, yang telah begitu lama tetap selamat di antara musuh-musuhnya dalam keluarga kerajaan, hanya mempunyai sedikit harapan dapat selamat di tangan bekas pelindungnya Trunajaya. Puger tidak mampu melawan kaum pemberontak, dan terpaksa melarikan diri dan meninggalkan istana untuk mereka. Trunajaya merampok Plered dan sesudah itu bergerak mundur ke arah timur menuju Kediri dengan membawa serta harta kekayaan Mataram. Kemudian Puger menduduki istana lagi dan memakai gelar kerajaan Susuhunan Ingalaga, sehingga dimulailah suatu masa ketegangan yang panjang antara dirinya dengan saudaranya, putra mahkota.


Amangkurat I tidak kuasa mengatasi penderitaan selama pelariannya. Dia wafat pada bulan Juli 1677; pada tanggal 13 Juli 1677 putranya memakamkannya di TegalWangi (ke selatan dari Tegal), di pesisir utara. Dulu ketika raja melarikan diri, ia harus meninggalkan harta kekayaannya dan sebagian tanda-tanda kebesaran kerajaan yang sempat dibawanya lari sekarang menjadi milik putra mahkota. Dengan demikian, hanya dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang keramat tersebut namun tanpa harta kekayaan, suatu pasukan, sebuah istana, atau kerajaan; Susuhunan Amangkurat II (1677-1703) memulai masa pemerintahannya. Dia hanya mempunyai satu alat yang memungkinkannya untuk mengangkat dirinya sebagai penguasa di Jawa; dia harus menghubungi VOC supaya mau bertempur di pihaknya.

Trunojoyo atau Trunajaya


Raden Trunojoyo, sering pula ditulis Trunajaya, (Madura, k.1649 – Payak, Bantul, 2 Januari 1680) adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung tahun 1679.
Pada tahun 1624 Sultan Agung menaklukkan pulau Madura. Raden Prasena, salah seorang bangsawan Madura, ditawan dan dibawa ke Mataram. Karena ketampanan dan kelakuannya yang baik, Sultan Agung menyukai Raden Prasena. Ia kemudian diangkat menjadi menantu dan dijadikan penguasa bawahan Mataram untuk wilayah Madura Barat, dengan gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I. Cakraningrat I lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura. Anak Cakraningrat dari selir, bernama Raden Demang Melayakusuma, menjalankan pemerintahan sehari-hari di Madura Barat. Mereka berdua sekaligus juga menjadi panglima perang bagi Mataram.
Setelah Sultan Agung wafat, pemerintahan Mataram dipegang oleh Amangkurat I, yang memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Hal ini menimbulkan gelombang ketidak-puasan pada kerabat istana dan para ulama, yang ditindak dengan tegas oleh Amangkurat I. Pertentangan yang sedemikian hebat antara Amangkurat I dan para ulama bahkan akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga banyak ulama dan santri dari wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati.
Pangeran Alit, adik Amangkurat I sendiri pada tahun 1656 melakukan pemberontakan. Cakraningrat I dan Demang Melayakusuma diutus untuk memadamkan pemberontakan berhasil dalam tugasnya, akan tetapi keduanya tewas dan dimakamkan di pemakaman Mataram di Imogiri. Penguasaan Madura kemudian dipegang oleh Raden Undagan, adik Melayakusuma yang kemudian bergelar Panembahan Cakraningrat II. Sebagaimana ayahnya, Cakraningrat II juga lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura.
Ketidakpuasan terhadap Amangkurat I juga dirasakan putra mahkota yang bergelar Pangeran Adipati Anom. Namun Adipati Anom tidak berani memberontak secara terang-terangan. Diam-diam ia meminta bantuan Raden Kajoran alias Panembahan Rama, yang merupakan ulama dan termasuk kerabat istana Mataram. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu Trunojoyo putra Raden Demang Melayakusuma sebagai alat pemberontakan Adipati Anom.
Trunojoyo dengan cepat berhasil membentuk laskar, yang berasal dari rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram. Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II, yang kemudian diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Pemberontakan ini diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura, karena Cakraningrat II dianggap telah mengabaikan pemerintahan.
Laskar Madura pimpinan Trunojoyo, kemudian juga bekerja sama Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC. Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC. Trunojoyo bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena tindakannya terhadap para ulama penentangnya.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom. Pasukan Trunojoyo bahkan berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1976. Tanpa diduga, Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum. Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo.
Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jendral Cornelis Speelman akhirnya memusatkan kekuatannnya untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama pasukan Amangkurat II.
Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 orang berhasil terus mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Trunojoyo kemudian diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo.

            Dengan padamnya pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindah keraton Mataram yang sudah ambruk itu ke Kartasura. Mataram berhutang biaya peperangan yang sedemikian besarnya kepada VOC, sehingga akhirnya kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa diserahkan sebagai bayarannya kepada VOC. Cakraningrat II juga diangkat kembali oleh VOC sebagai penguasa di Madura, dan sejak saat itu VOC pun terlibat dalam penentuan suksesi dan kekuasaan di Madura.

21 April 2012

Bandung Lautan Api


Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRImengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.

       Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

18 April 2012

Proklamasi Kemerdekaan



        Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon,Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus. Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karegar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor BukanfuLaksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul SalehSukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesiana itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh menden.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh SoekarniB.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo,WilopoGafar PringgodigdoTabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional