Pages

28 April 2012

Amangkurat I


Putra dan pengganti Sultan Agung (-Hanyakrakusuma) sebagai penguasa atas kerajaan Mataram adalah Susuhunan Amangkurat I (1646-1677 M). Program pokok pemerintahannya adalah usaha mengkonsolidasikan kerajaan Mataram, mensentralisasikan administrasi dan keuangan, serta menumpas semua perlawanan. Dia ingin merubah kerajaan yang telah didasarkan Sultan Agung pada kekuatan militer dan kemampuan untuk memenangkan atau memaksakan suatu mufakat menjadi suatu kerajaan yang bersatu, yang sumber-sumber pendapatannya dimonopoli untuk kepentingan raja. Apabila berhasil maka dia akan merombak politik Jawa, tetapi usaha-usahanya itu sudah ditakdirkan mengalami kegagalan; fakta-fakta geografi, komunikasi, dan populasi yang menentukan bahwa kekuasaan administratif di Jawa harus didesentralisasikan tidak dapat diubah dengan perintah raja. Sebagai akibat dari kebijakan-kebijakannya, Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang terbesar selama abad XVII; hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan campurtangan VOC.
Amangkurat I memperlihatkan perangainya sudah semenjak awal masa pemerintahannya. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, dia telah terlibat dalam suatu skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Pada tahun 1647 raja baru tersebut mengutus Wiraguna ke Ujung Timur, seolah-olah untuk mengusir pasukan-pasukan Bali, dan di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu dia dibunuh. Sesudah itu, keluarga Wiraguna di Mataram dan orang-orang lain yang terlibat dalam skandal tahun 1637 tersebut dibunuh. Saudara laki-laki raja, Pangeran Alit, memihak Wiraguna pada tahun 1637, dan ketika mengetahui sahabat-sahabatnya sedang dibunuh, dia mencari dukungan di kalangan para pemimpin Islam. Rupa-rupanya mereka menyerang istana tetapi dapat dipukul mundur, dan Pangeran Alit gugur dalam pertempuran. Kini Amangkurat I berganti melawan para pemimpin Islam. Sebuah daftar para pemimpin agama yang terkemuka disusun dan mereka semuanya dikumpulkan di halaman istana. Kemudian, menurut duta VOC, Rijklof van Goens, antara 5.000 dan 6.000 orang pria, wanita, dan anak-anak dibantai.
Pada tahun 1647 Amangkurat I pindah ke istananya yang baru di Plered, tepat di sebelah timur laut Karta. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu merah daripada dari kayu seperti istana yang lama, mungkin semacam contoh kepermanenan dan kekokohan yang ingin dilihat Amangkurat I di seluruh pelosok kerajaannya. Pekerjaan di Plered tersebut berjalan terus setidak-tidaknya sampai tahun 1666. Waktu kompleks istana baru itu bertambah besar, susuhunan baru itu semakin kejam. Teman-teman lama ayahnya menghilang satu demi satu, beberapa di antaranya mungkin karena usia lanjut, tetapi kebanyakan karena mereka dibunuh atas perintah raja. Pada tahun 1648 van Goens menyebutkan tentang ‘cara pemerintahan mereka yang aneh … orang-orang tua dibunuh dalam rangka memberi tempat kepada yang masih muda! (Gezantschapsreizen, 67). Di antara orang-orang paling terkemuka yang menjadi korban raja ini adalah ayah mertuanya sendiri Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dibunuh bersama-sama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Jiwa paman raja pun, yang merupakan satu-satunya saudara laki-laki Sultan Agung yang masih hidup, Pangeran Purbaya, terancam tetapi berhasil selamat karena adanya campur tangan ibu suri.
Kegiatan Amangkurat I meniadakan kesepakatan orang-orang terkemuka yang sangat penting artinya bagi kedudukan raja Jawa. Dia membunuh orang-orang yang dicurigai menentangnya, baik di istana maupun di seluruh pelosok kerajaannya, dan tentu saja menimbulkan kegelisahan dan ketakutan di antara orang-orang yang masih hidup. Tampak jelas perpecahan di daerah-daerah di luar perbatasan kerajaan. Karena menuntut kepatuhan yg sebenarnya tidak dapat dipaksakannya, maka tindakan Amangkurat I tesebut telah mendorong sekutu-sekutu dan vazal-vazalnya untuk meninggalkannya. Pada tahun 1650 dia memerintahkan tentara Cirebon menyerang Banten, dan pada akhir 1657 tentara Mataram sendiri bergerak menyerang Banten. Kedua serangan tersebut mengalami kegagalan, sehingga tidak hanya memperkuat perasaan benci Banten terhadap Mataram namun kemungkinan besar juga menyebabkan Cirebon meragukan manfaat dari sikap tunduknya kepada Amangkurat I. satu-satunya upayanya untuk menguasai Ujung Timur pada tahun 1647 mengalami kgagalan, sehingga sesudah itu wilayah ini tetap bebas dari pengaruh Mataram. Pihak Bali menyerang pesisir timur, dan Mataram tidak dapat berbuat apa-apa. Di luar Jawa hanya Palembanglah yang masih tetap menyatakan setia dengan harapan yang sangat tipis bahwa Mataram akan bersedia membantunya; pertama-tama melawan musuh mereka bersama, Banten, dan kemudian dalam perang melawan VOC (1658-1659). Jambi dengan tegas menolak kekuasaan Mataram sesudah tahun 1663 dan memilih bekerja sama dengan VOC. Kalimantan juga sama sekali bebas dari pengaruh Mataram sesudah sekitar tahun 1659. Selama peperangan-peperangannya dengan VOC, Sultan Hasanuddin dari Gowa mengirim utusan-utusan ke Mataram pada tahun 1657 dan 1658. Akan tetapi, Amangkurat I meminta supaya Hasanuddin datang sendiri ke istananya sebagai tanda takluk, yang jelas tidak akan dilakukan oleh Hasanuddin. Sebagai akibatnya maka sudah jelas bahwa hubungan Gowa-Mataram menjadi dingin.
Alasan-alasan yang telah menyebabkan terjadinya perpecahan di daerah pinggiran kerajaan ini pada dasarnya bersifat kemiliteran. Amangkurat I tidak sanggup menyelenggarakan ekspedisi-ekspedisi seperti yang telah dijalankan oleh Sultan Agung. Hal ini adalah akibat langsung dari pemerintahannya yang lalim. Dia tidak berani meninggalkan istananya yang dikawal ketat dan menempatkan dirinya di tengah-tengah para komandan yang tidak dapat diandalkan bagi keselamatan jiwanya. Demikian pula halnya, dia tidak berani mempercayakan pimpinan atas pasukan utama kepada orang lain. Dengan demikian, kelalimannya telah menyebabkan hancurnya mufakat orang-orang terkemuka yang telah mengucilkan kerajaan ini dan tidak memungkinkannya membentuk suatu pasukan yang besar, memimpinnya, atau mempercayakan pipmpinannya kepada orang lain. Oleh karena itulah, maka para sekutu dan para taklukannya di daerah-daerah yang terpencil mendapat kesempatan yang baik untuk melepaskan kesetiaan mereka. Sementara itu, Amangkurat I memperlihatkan secara jelas sekali bagi orang-orang yang kuat bahwa kepentingan pribadi mereka dapat terlayani dengan sebaik-baiknya dengan kemerdekaan.
Hubungan raja dengan VOC mula-mula tampak bersahabat. Pada tahun 1646 dia menyetujui suatu perjanjian persahabatan yang mengatur pertukaran tawanan, dan VOC mengembalikan uang yang telah dirampasnya dari seorang utusan Sultan Agung yang sedang dalam perjalanan ke Mekah pada tahun 1642. Amangkurat I tampaknya menganggap perjanjian ini sebagai bukti tunduknya Batavia kepada kekuasaannya, dan VOC tidak merasa perlu menyatakan penafsiran lain. Serangkaian perutusan VOC mengunjungi istana antara tahun 1646 dan 1654, dan pos perdagangan VOC di Jepara dibuka kembali pada tahun 1651. Hubungan dagang VOC dengan daerah pesisir berkembang lagi.
Dimulainya lagi perdagangan Jawa-VOC di daerah pesisir telah mengakibatkan timbulnya suatu krisis internal baru di Jawa. Barang-barang yang dibutuhkan VOC -terutama beras dan kayu- adalah hasil-hasil daerah pesisir. Barangkali para pengusaha, pedagang, dan pejabat-pejabat di daerah pesisir utaralah yang memperoleh sebagian besar keuntungan dengan berlangsungnya lagi perdagangan ini, sedangkan yang diperoleh raja rupanya kurang daripada yang diinginkannya. Oleh karena itulah, maka Amangkurat I mulai melakukan pengawasan yang semakin ketat terhadap daerah pesisir sehingga membangkitkan kembali antagonisme yang mendalam antara daerah pesisir dan daerah pedalaman.
Pada tahun 1651 Amangkurat I memerintahkan diadakannya suatu sensus, mungkin untuk mempermudah penarikan pajak. Dia juga mengeluarkan keputusan bahwa tak seorang pun warganya dapat mengadakan perjalanan ke luar Jawa, sehingga secara langsung memukul kepentingan para saudagar dari daerah pesisir. Susuhunan juga mengangkat dua orang gubernur daerah pesisir, yang satu untuk mengawasi bagian barat dan yang lain untuk bagian timur. Pada tahun 1652 dia melarang sama sekali ekspor beras dan kayu. Dia memberitahu pihak Belanda bahwa tindakan ini bukan suatu langkah yang ditujukan terhadap mereka tetapi terhadap Banten, dan bahwa mereka dapat memperoleh beras dengan jalan mengutus seorang duta kepadanya untuk merundingkan jumlah dan harganya. Dengan kata lain, dia berusaha menjamin keuntungan dari perdagangan VOC langsung tersalur ke dalam perbendaharaan raja. Pihak Belanda mengeluh mengenai pembatasan-pembatasan tersebut, tetapi Amangkurat I tetap pada pendiriannya. Sementara itu, warganya di daerah pesisir menderita karena adanya tuntutan raja yang berupa uang tunai dari mereka dan gangguan raja terhadap perdagangan mereka.
Pada tahun 1655 Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup sama sekali. Dalam teori, bahkan para nelayan pun tidak diperbolehkan berlayar. Para pejabat dikirim untuk mengambil alih kapal-kapal yang besar dan memusnahkan semua kapal yang kecil. Tampaknya tindakan-tindakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan pajak, tetapi di balik itu semua terlihat jelas adanya keinginan raja untuk menghancurkan daerah pesisir apabila dia tidak dapat menguasainya. Pada tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan tersebut tiba-tiba dibuka kembali, tetapi pada tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi semua pedagang; dan kali ini pos perdagangan VOC di Jepara juga ditutup. Penutupan pelabuhan yang kedua ini konon, setidak-tidaknya sebagian, merupakan pembalasan atas tindakan VOC menghancurkan Palembang pada tahun 1659. VOC merasa tertarik kepada Palembang yang merupakan sumber lada untuk beberapa waktu lamanya, dan pada tahun 1642 VOC telah berhasil mencapai suatu perjanjian yang memberinya hak monopoli. Akan tetapi pertentangan-pertentangan terus berlanjut, dan pada tahun 1657 kapal-kapal VOC yang berada di sana diserang. Sebagai akibatnya, VOC menyerang dan membakar Palembang pada tahun 1659; berdirilah kembali pos VOC di sana. Amangkurat I tergoncang karena dihancurkannya satu-satunya sekutunya yang tersisa di luar Jawa ini. Akan tetapi, tampak jelas bahwa alasan untuk ditutupnya pelabuhan-pelabuhan tersebut lebih luas daripada itu karena semua saudagar, bukan hanya VOC saja, dilarang berdagang di pelabuhan-pelabuhan. Akan tetapi, pelabuhan-pelabuhan tersebut dibuka kembali pada tahun 1661.
Usaha-usaha Amangkurat I untuk menguasai daerah pesisir dan keinginannya untuk memonopoli perdagangan dengan VOC tentu saja memiliki kaitan yang sangat erat. Dia tampaknya memiliki empat sasaran pokok: (1) menjamin supaya pajak dari perdagangan daerah pesisir langsung tersalur ke istana; (2) menegakkan kembali hubungan ‘vazal’ VOC yang menurut keyakinannya telah ditetapkan di dalam perjanjian tahun 1646; (3) menerima hadiah-hadiah VOC yang dapat meningkatkan kemegahan dan keagungan istananya, misalnya kuda Persia, dsb.; dan (4) menerima uang VOC untuk meringankan kekurangan dana yang kronis di kerajaannya. Tujuan-tujuan ini dapat tercapai dengan jalan meruntuhkan ekonomi daerah pesisir dan memaksa agar VOC mengadakan semua pembeliannya secara langsung dengan istana. Amangkurat I terus mendesak agar VOC mengirimkan duta-dutanya kepadanya dengan ancaman kalau tidak pelabuhan-pelabuhan akan ditutup kembali. Perutusan-perutusan VOC dikirim ke Plered pada tahun 1667, 1668, dan 1669, tetapi hanya sedikit kemajuan dicapai ke arah penyusunan rencana-rencana dagang yang stabil dan bersahabat, dan perutusan yang terakhir malah tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanannya ke Plered. Seperti yang akan dibahas di bawah ini, pada masa itu keraton sudah mendekati saat kehancurannya.
Sementara itu, VOC mendapat kemajuan di Indonesia Timur. Seperti halnya tindakan menghancurkan Palembang pada tahun 1659 telah menggoncangkan Amangkurat I, maka begitu pula ditaklukkanya Gowa pun telah menggoncangkan dirinya sepuluh tahun kemudian. Dia sekarang mulai menyadari bahwa VOC bukan hanya merupakan sumber keuangan tetapi juga sumber bahaya. Itulah yang semakin membulatkan tekadnya untuk menguasai daerah pesisir. Kedua orang gubernur daerah pesisir yang diangkat pada tahun 1651 telah digantikan oleh empat orang gubernur pada tahun 1657. Pada tahun 1669 wewenang tersebut dikurangi dan wakil-wakil langsung dari istana yang disebut umbul dikirim untuk mengawasi administrasinya. Kehidupan ekonomi dan administrasi daerah pesisir selanjutnya menjadi kacau, dan mendung mulai menggumpal.
Sulit untuk mengetahui berapa kuat perlawanan terhadap Amangkurat I sebelum akhir tahun 1660-an. Pasti tersebar luas perlawanan yang laten, mungkin hampir bersifat universal, tetapi hanya beberapa orang yang mempunyai pengaruh cukup besar untuk memimpin suatu kudeta atau pemberontakan yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuh-pembunuh yang tak ada henti-hentinya itu. Akan tetapi, pada tahun 1660-an muncul seseorang yang posisi maupun kekuatannya atas pasukan cukup memadai untuk menjamin dirinya mempunyai harapan untuk selamat dan berhasil. Orang itu adalah putra raja sendiri, putra mahkota, yang kelak akan bergelar Susuhunan Amangkurat II (1677-1703).
Putra mahkota adalah putra Amangkurat I dengan seorang putri Surabaya, putri Pangeran Pekik. Dia sebenarnya dibesarkan oleh keluarga ibunya, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia mempunyai beban mental yang berat sebagai akibat pembunuhan yang dilakukan  ayahnya terhadap keluarga itu dan Pangeran Pekik pada tahun 1659.  Wataknya sewaktu remaja hanya sedikit yang diketahui, kecuali bahwa dia mempunyai kelemahan terhadap wanita-wanita cantik yang menimbulkan konflik dengan ayahnya yang mempunyai selera yang sama. Pada tahun 1660 pihak Belanda mendengar desas-desus bahwa Amangkurat I bermaksud membunuh putranya, dan bahwa pada tahun 1661 dia telah melakukannya. Segera terbukti bahwa hal itu tidak benar, tetapi pada tahun 1663 terdengar desas-desus lain mengenai usaha raja yang gagal untuk meracun putranya. Ada kemungkinan bahwa kelompok putra mahkota gagal dalam usaha percobaan kudeta pada tahun 1661, yang mengakibatkan dibunuhnya banyak di antara pendukungnya. Apabila hal itu benar, maka jelas  bahwa putra mahkota sendiri telah berhasil menyelamatkan diri dari tindakan balas dendam ayahnya, mungkin karena pengawal pribadinya yang sangat kuat.
Pada tahun 1668-1670 terjadi lagi konflik antara putra mahkota dengan ayahnya mengenai seorang wanita. Perpecahan antara ayah dan anak sekarang telah menjadi sempurna, kalau hal itu bukan telah terjadi selama satu dasawarsa. Mulai tahun 1660 putra mahkota sudah berusaha menjalin hubungan tersendiri dengan VOC. Antara tahun 1667 dan 1675 dia mengirim sembilan perutusan ke Batavia untuk meminta apa saja, dari ayam Belanda sampai kuda Persia dan gadis-gadis Makasar. Mungkin tujuannya yang sebenarnya adalah untuk menjajagi apakah dia dapat mengharapkan dukungan VOC ataukah tidak. Enam orang pangeran lain di istana masing-masing juga mempunyai pengawal bersenjata dan tempat tinggal yang dijaga, di antaranya adalah Pangeran Puger yang kelak akan menjadi Susuhunan Pakubuwana I (1704-1719). Kini Plered telah menjadi suatu kumpulan kamp-kamp bersenjata. Para pangeran terpecah-belah oleh perasaan iri dan ambisi mereka dalam suatu lingkungan politik di mana pembunuhan merupakan harga yang harus dibayar bagi suatu langkah yang keliru.
Putra mahkota sudah beberapa lama berhubungan dengan seseorang yang kelak akan memainkan peranan penting dalam kekacauan mendatang. Orang itu adalah Raden Kajoran yang juga dipanggil dengan nama Panembahan Rama, seorang suci yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Kajoran adalah suatu tempat yang terletak kira-kira dua puluh enam kilometer di sebelah timur laut istana, di kawasan tempat suci Tembayat. Pada tahun 1630-an daerah ini agaknya telah menjadi suatu pusat perlawanan terhadap Sultan Agung, dan pada tahun 1633 Sultan Agung telah mengadakan semacam ziarah ke makam Sunan Bayat di sana. Raden Kajoran adalah keturunan keluarga Sunan Bayat dan mempunyai ikatan perkawinan dengan keturunan kerajaan Mataram. Bahkan yang lebih penting, putrinya yang sulung menikah dengan seorang pangeran dari Madura yang bernama Raden Trunajaya (1649(?)-1680) yang tidak senang dengan pemerintahan Amangkurat I. Apabila nanti tidak ada campur-tangan VOC, maka hampir dapat dipastikan bahwa Trunajaya akan menjadi pendiri suatu wangsa baru di Jawa. Dia mempunyai cukup banyak alasan untuk membenci Amangkurat I, karena ayahnya telah dibunuh di istana pada tahun 1656 dan jiwanya sendiri terancam oleh suatu persekongkolan istana beberapa waktu kemudian. Jadi dia melarikan diri ke Kajoran dan menjadi menantu Raden Kajoran.
Raden Kajoran memperkenalkan Trunajaya kepada putra mahkota sekitar tahun 1670, dan hasilnya adalah suatu persekongkolan yang paling menentukan dalam menentang Amangkurat I. Trunajaya akan melancarkan suatu pemberontakan, dan apabila raja dapat dikalahkan maka putra mahkotalah yang akan menjadi susuhunan yang baru. Trunajaya akan mendapatkan kekuasaan atas Madura dan, agaknya, sebagian Jawa Timur, dan mungkin pula akan menjadi kepala pejabat administrasi (patih) untuk seluruh kerajaan. Raden Kajoran meramalkan bahwa Trunajaya akan menjadi seorang pahlawan besar dan Mataram akan runtuh. Putra mahkota kembali ke istana untuk menunggu terjadinya peristiwa itu, sedangkan Trunajaya berangkat ke Madura untuk membangun pangkalan bagi pemberontakan tersebut. Di sana dia menghimpun kekuatan dan merebut kekuasaan atas Pamekasan di Madura Tengah bagian Selatan. Dari pangkalan ini dia berhasil merebut kekuasaan atas seluruh Madura selama tahun 1671.
Ujung tombak pemberontakan adalah orang-orang non-Jawa. Pertama-tama berhimpun prajurit-prajurit Madura, kemudian satuan-satuan prajurit yang ganas dari Indonesia Timur, yaitu orang-orang Makasar. Setelah meninggalkan kampung halaman mereka setelah kekalahan Gowa pada tahun 1669 dan karena pemerintahan Arung Palakka bersifat menindas maka gerombolan-gerombolan orang Makasar berlayar ke Jawa, yang sebagian besar mencari nafkah dengan merompak dan merampok. Suatu kelompok berangkat ke Banten, tetapi sewaktu situasi di sana menjadi genting mereka pergi dan pada tahun 1674 sampai di Jepara dengan tujuan meminta tanah kepada Amangkurat I untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Mereka tidak diijinkan menghadap ke istana, tetapi tampaknya putra mahkota mengijinkan mereka menetap di daerah pesisir Jawa Timur di suatu tempat yang bernama Demung (sekarang Besuki). Semakin banyak orang Makasar bergabung dengan mereka dan pada tahun 1675 mereka bersekutu dengan Trunajaya dan mulai menyerang pelabuhan-pelabuhan Jawa. Harapan akan dibaginya barang-barang ranmpasan dari suatu peperangan yang besar di Jawa tentu benar-benar membangkitkan semangat orang-orang buangan tersebut.
Kini kerajaan Mataram mulai mengalami disintegrasi. Raja sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan, tetapi kelaliman dan pembunuhan masih terus berlanjut. Pada tahun 1674-1676 bahaya kelaparan merajalela dan berjangkit wabah penyakit. Terlihat adanya berbagai pertanda yang tidak baik: Gunung Merapi meletus pada tahun 1672, terjadi beberapa gempa bumi dan gerhana bulan, dan hujan turun tidak pada musimnya. Lagipula, akhir abad Jawa telah dekat. Tradisi istana Jawa mempercayai suatu siklus abad-abad yang menunjukkan runtuhnya kerajaan-kerajaan  pada akhir setiap abad. Ketika tahun Jawa 1600 (yang dimulai pada bulan Maret 1677) hampir tiba, tersebar ramalan-ramalan bahwa hari-hari terakhir Mataram sudah dekat. Dalam sebuah negara serapuh kerajaan Amangkurat I, maka pemikiran-pemikiran semacam itu hanya akan memperbesar kemungkinan bahwa pertahanan dianggap sia-sia apabila tantangan terhadap raja akan muncul pada akhirnya.
Pada tahun 1675 benar-benar berkobar pemberontakan. Orang-orang Makasar menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur sampai Tuban. Kubu-kubu pertahanan yang dimiliki pelabuhan-pelabuhan tersebut telah dihancurkan oleh Sultan Agung setelah dia berhasil merebutnya, dan oleh karena itu kota-kota ini hampir tidak dapat mempertahankan diri. Angkatan Laut VOC juga berhadapan dengan orang-orang Makasar, dan hanya memperoleh kemenangan yang kecil. Pasukan Madura di bawah pimpinan Trunajaya kini memasuki Jawa dan merebut Surabaya. Kesetiaan daerah pesisir terpecah-belah. Pelabuhan-pelabuhan dari Juwana ke timur tampaknya mendukung pemberontakan tersebut, sedangkan pelabuhan-pelabuhan yang letaknya ke barat (terutama Cirebon) tampaknya masih tetap setia kepada Amangkurat I. Namun demikian timbul kecurigaan  tentang sikap semua penguasa daerah pesisir itu. Istana juga terpecah-belah. Satu pihak mendukung permintaan bantuan kepada VOC. Pihak lainnya, yang tampaknya dipengaruhi oleh Panembahan Giri, mengajukan usul atas dasar agama tidak dijalin kerja-sama dengan orang-orang Kristen. Kedudukan putra mahkota memang sangat sulit. Dia tetap berada di istana, menguntungkan dirinya, tanpa memperlihatkan keterlibatannya. Pemberontakan meluas ketika kekuatan-kekuatan Trunajaya dan orang-orang Makasar memperoleh kemenangan-kemenangan lebih lanjut di daerah pesisir. Pihak pemberontak menghimbau agar orang-orang Jawa mendukung mereka demi agama Islam dan telah mendapatkan tanggapan yang positif. Panembahan Giri sekarang merestui mereka dengan mengatakan bahwa Mataram tidak akan pernah sejahtera selama VOC masih tetap berada di Jawa. Hal ini menunjukkan semakin besarnya unsur anti-VOC selain sikap anti-Amangkurat I dalam pemberontakan tersebut, yang menjadi masalah bagi putra mahkota yang agaknya sudah cenderung kepada VOC.
Titik balik militer yang sangat menentukan terjadi pada tahun 1676. Peranan putra mahkota dalam pemberontakan itu telah dicurigai oleh pihak susuhunan, tetapi tidak jelas apakah Amangkurat I sendiri mempercayai tuduhan-tuduhan tersebut ataukah mungkin berpendapat bahwa dia tidak berkesempatan melakukan pembalasan dendam terhadap putranya. Apapun masalahnya, dia menunjuk putra mahkota sebagai pimpinan pasukan yang dikirim untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan Trunajaya. Pangeran-pangeran lain juga dikirim bersamanya, termasuk saudara dan sekaligus musuh utamanya, Pangeran Singasari. Kemungkinan besar raja menginginkan kematian putra mahkota selama penyerangan tersebut. Mungkin pula putra mahkota bermaksud melancarkan suatu perang pura-pura terhadap Trunajaya tetapi dicegah untuk melakukan yang demikian karena ada pangeran-pangeran lainnya. Tentara kerajaan bertempur melawan Trunajaya di Godogog di daerah pesisir timur laut pada bulan Oktober 1676, dan mengalami disintegrasi. Di antara korban yang tewas di pihak Mataram adalah pangeran Purbaya yang sudah berusia sangat lanjut, satu-satunya saudara Sultan Agung yang cukup lama hidupnya untuk menyaksikan kehancuran kerajaan Sultan Agung.
Setelah kejadian di Godogog, pemberontakan itu menyebar semakin cepat. Banyak pembesar Jawa yang tidak mau lagi mengakui Amangkurat I sebagai raja mereka dan bergabung dengan kaum pemberontak. Pada awal tahun 1677 pasukan-pasukan pemberontak menguasai semua pelabuhan. Bahkan Cirebon pun jatuh ke tangan kaum pemberontak, tetapi kapal-kapal perang Banten segera muncul di sana untuk memaksakan pengaruh Banten.
Aspirasi Trunajaya sekarang meningkat. Pada tahun 1676 dia telah memakai gelar panembahan (orang yang dihormati) dan raja. Dia mulai menyatakan dirinya adalah keturunan Majapahit dan berhak atas tahta Mataram. Dengan kata lain, putra mahkota Mataram sudah tidak dapat lagi mengendalikan pemberontakan yang dirancangnya. Akan tetapi, Trunajaya pun sudah tidak dapat lagi mengendalikan orang-orang Makasar, sekutunya yang sukar untuk diperintah, yang kepentingannya tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah siapa yang memerintah Jawa.
Tentu saja pihak Belanda sangat memperhatikan peristiwa-peristiwa tersebut, dan telah terlibat dalam permusuhan terhadap orang-orang Makasar. Putra mahkota maupun Trunajaya meminta meriam, mesiu, dan perlengkapan lainnya kepada VOC. VOC menghendaki tegaknya stabilitas di daerah pesisir sehingga perdagangan dapat berjalan dengan baik, dan sekarang VOC harus memutuskan apa yang dapat dilakukan demi tercapainya stabilitas seperti itu. Pada akhir tahun 1676 Batavia mengambil keputusan akan melakukan campur-tangan terbatas dengan tujuan untuk mengupayakan semacam penyelesaian. Orang yang diserahi tugas ini adalah Laksamana Speelman, yang telah berhasil menaklukkan Makasar. Dia diperlengkapi dengan + 1500 orang serdadu, tetapi diperintahkan untuk tidak bergerak memasuki wilayah pedalaman. Batavia tidak ingin terlibat dalam perang besar di Jawa, karena serdadu-serdadunya mungkin diperlukan di tempat lain: Malaka sedang diganggu oleh orang-orang Melayu dari Johor dan tampak jelas bahwa Banten dan negara-negara lainnya juga sedang menggalang persekongkolan untuk melawan VOC. Sangat disangsikan pula manfaatnya melancarkan suatu peperangan di Jawa, karena beberapa orang merasa yakin bahwa VOC dapat menaklukkan Jawa hanya dengan menghancurkan pulau tersebut dan melibatkan VOC dalam pengeluaran yang sangat besar. Bagaimanapun juga, logika dari tindakan campur-tangan itu segera akan membawa VOC untuk memasuki daerah pedalaman.
Pada bulan Februari 1677 Amangkurat I dan VOC memperbarui perjanjian tahun 1646 yang sudah lama tidak berarti lagi. Pihak Belanda berjanji akan membantu raja melawan musuh-musuhnya, tetapi raja harus membayar semua biaya yang dikeluarkan untuk bantuan semacam itu dan memberikan konsesi-konsesi ekonomi kepada VOC, misalnya pembebasan dari cukai. Terbentuknya persekutuan itu hanya mempercepat berkobarnya pemberontakan. Kesadaran terhadap Islam tampaknya telah begitu kuat tertanam di kalangan kaum pemberontak, dan tersebar ramalan-ramalan bahwa Tuhan tidak akan memberkahi Jawa selama orang-orang yang beragama Kristen masih berada di sana. Pada bulan Mei 1677 VOC melakukan campur-tangan di daerah pesisir. Mereka berhasil memukul mundur Trunajaya dari Surabaya sehingga memaksa pasukannya mundur lebih jauh lagi memasuki daerah pedalaman dan hal ini justru telah mendorong lebih banyak lagi orang Jawa untuk bergabung dengannya.
Sekarang pemberontakan sudah mencapai puncaknya. Istana Plered diserang dan jatuh ke tangan pasukan Trunajaya. Hari keruntuhannya tidak jelas, tetapi sudah pasti antara akhir bulan Mei dan akhir bulan Juni 1677. Kronik-kronik Jawa menyebutkan bahwa ketika musuh semakin mendekat, prajurit-prajurit raja berkerumun di depan istana tetapi raja mengatakan supaya mereka tidak menentang kehendak Tuhan; hari terakhir abad itu telah tiba dan bersamaan dengan itulah saat runtuhnya Mataram. Tradisi Jawa juga menyebutkan bahwa hampir seabad sebelumnya pulung yang jatuh di Sela Gilang telah meramalkan kepada Senapati bahwa Mataram akan jatuh pada zaman cicit laki-lakinya, yaitu Amangkurat I. Raja telah meninggalkan istana sebelum musuh-musuhnya sempat mencapainya. Dia menyerahkan istana kepada putranya, Pangeran Puger, dan membawa serta putra mahkota bersamanya ke arah barat laut menuju daerah pesisir. Putra mahkota, yang telah begitu lama tetap selamat di antara musuh-musuhnya dalam keluarga kerajaan, hanya mempunyai sedikit harapan dapat selamat di tangan bekas pelindungnya Trunajaya. Puger tidak mampu melawan kaum pemberontak, dan terpaksa melarikan diri dan meninggalkan istana untuk mereka. Trunajaya merampok Plered dan sesudah itu bergerak mundur ke arah timur menuju Kediri dengan membawa serta harta kekayaan Mataram. Kemudian Puger menduduki istana lagi dan memakai gelar kerajaan Susuhunan Ingalaga, sehingga dimulailah suatu masa ketegangan yang panjang antara dirinya dengan saudaranya, putra mahkota.


Amangkurat I tidak kuasa mengatasi penderitaan selama pelariannya. Dia wafat pada bulan Juli 1677; pada tanggal 13 Juli 1677 putranya memakamkannya di TegalWangi (ke selatan dari Tegal), di pesisir utara. Dulu ketika raja melarikan diri, ia harus meninggalkan harta kekayaannya dan sebagian tanda-tanda kebesaran kerajaan yang sempat dibawanya lari sekarang menjadi milik putra mahkota. Dengan demikian, hanya dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang keramat tersebut namun tanpa harta kekayaan, suatu pasukan, sebuah istana, atau kerajaan; Susuhunan Amangkurat II (1677-1703) memulai masa pemerintahannya. Dia hanya mempunyai satu alat yang memungkinkannya untuk mengangkat dirinya sebagai penguasa di Jawa; dia harus menghubungi VOC supaya mau bertempur di pihaknya.

Trunojoyo atau Trunajaya


Raden Trunojoyo, sering pula ditulis Trunajaya, (Madura, k.1649 – Payak, Bantul, 2 Januari 1680) adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung tahun 1679.
Pada tahun 1624 Sultan Agung menaklukkan pulau Madura. Raden Prasena, salah seorang bangsawan Madura, ditawan dan dibawa ke Mataram. Karena ketampanan dan kelakuannya yang baik, Sultan Agung menyukai Raden Prasena. Ia kemudian diangkat menjadi menantu dan dijadikan penguasa bawahan Mataram untuk wilayah Madura Barat, dengan gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I. Cakraningrat I lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura. Anak Cakraningrat dari selir, bernama Raden Demang Melayakusuma, menjalankan pemerintahan sehari-hari di Madura Barat. Mereka berdua sekaligus juga menjadi panglima perang bagi Mataram.
Setelah Sultan Agung wafat, pemerintahan Mataram dipegang oleh Amangkurat I, yang memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Hal ini menimbulkan gelombang ketidak-puasan pada kerabat istana dan para ulama, yang ditindak dengan tegas oleh Amangkurat I. Pertentangan yang sedemikian hebat antara Amangkurat I dan para ulama bahkan akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga banyak ulama dan santri dari wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati.
Pangeran Alit, adik Amangkurat I sendiri pada tahun 1656 melakukan pemberontakan. Cakraningrat I dan Demang Melayakusuma diutus untuk memadamkan pemberontakan berhasil dalam tugasnya, akan tetapi keduanya tewas dan dimakamkan di pemakaman Mataram di Imogiri. Penguasaan Madura kemudian dipegang oleh Raden Undagan, adik Melayakusuma yang kemudian bergelar Panembahan Cakraningrat II. Sebagaimana ayahnya, Cakraningrat II juga lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura.
Ketidakpuasan terhadap Amangkurat I juga dirasakan putra mahkota yang bergelar Pangeran Adipati Anom. Namun Adipati Anom tidak berani memberontak secara terang-terangan. Diam-diam ia meminta bantuan Raden Kajoran alias Panembahan Rama, yang merupakan ulama dan termasuk kerabat istana Mataram. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu Trunojoyo putra Raden Demang Melayakusuma sebagai alat pemberontakan Adipati Anom.
Trunojoyo dengan cepat berhasil membentuk laskar, yang berasal dari rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram. Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II, yang kemudian diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Pemberontakan ini diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura, karena Cakraningrat II dianggap telah mengabaikan pemerintahan.
Laskar Madura pimpinan Trunojoyo, kemudian juga bekerja sama Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC. Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC. Trunojoyo bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena tindakannya terhadap para ulama penentangnya.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom. Pasukan Trunojoyo bahkan berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1976. Tanpa diduga, Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum. Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo.
Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jendral Cornelis Speelman akhirnya memusatkan kekuatannnya untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama pasukan Amangkurat II.
Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 orang berhasil terus mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Trunojoyo kemudian diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo.

            Dengan padamnya pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindah keraton Mataram yang sudah ambruk itu ke Kartasura. Mataram berhutang biaya peperangan yang sedemikian besarnya kepada VOC, sehingga akhirnya kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa diserahkan sebagai bayarannya kepada VOC. Cakraningrat II juga diangkat kembali oleh VOC sebagai penguasa di Madura, dan sejak saat itu VOC pun terlibat dalam penentuan suksesi dan kekuasaan di Madura.

21 April 2012

Bandung Lautan Api


Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRImengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.

       Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

18 April 2012

Proklamasi Kemerdekaan



        Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon,Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus. Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karegar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor BukanfuLaksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul SalehSukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesiana itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh menden.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh SoekarniB.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo,WilopoGafar PringgodigdoTabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional

6 April 2012

Peristiwa 10 November

Masa pendudukan Jepang atas Indonesia dimulai pada tahun 1942 sampai 17 Agustus 1945. Setelah jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutuh pemerintah segera mengambil tindakan dengan Memproklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu segera sekutu dibonceng oleh NICA mendarat di Indonesia. Kedatangan sekutu ke Indonesia bertujuan untuk melucuti senjata Jepang dan membebaskan tawanan Perang di Indonesia. 
Pada 23 September 1945 Kapten Huijer dari Angkatan Laut Belanda wakil sekutu pertama yang menjejakan kakinya di surabaya.  Sebelum dilucuti oleh sekudonesia mengetahui itu merupakan tipu muslihat untuk membuat belanda kembali berkuasa atas Indtu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Kedatangan mereka yg penuh arogansi dan diboncengi oleh NICA ( Belanda ) pada saat itu menyulut kemarahan rakyat. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya.NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.
Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda, Merah-Putih-Biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk. Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak. Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama’ serta kiyai-kiyai pondok jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiyai) juga ada pelopor muda seperti bung tomo dan lainnya. sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

4 April 2012

Kyai Haji Ahmad Dahlan


Kyai Haji Ahmad Dahlan 
(lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Latar belakang keluarga dan pendidikan
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Beliau dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.
Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).

Menjadi Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Sumber : Wikipedia